Penulis: Kamilah Romadhoni (2024015119)
Indonesia Tengah menapaki jalan menuju sebuah visi yang besar, yaitu Indonesia Emas 2045. Yang dalam visi tersebut terdapat suatu harapan yaitu diharapkan Indonesia menjadi negara yang maju dengan sumber daya manusia yang unggul, ekonomi yang kuat serta berdaya saing global. Dan salah satu pilar utama untuk mencapai visi tersebut adalah Pendidikan. Maka dari situlah timbullah sebuah pemikiran dan konsep Pendidikan Tamansiswa, yang dirintis oleh Ki Hadjar Dewantara.
Pendidikan Tamansiswa
Tamansiwa didirikan oleh bapak Pendidikan yaitu Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1922 sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem Pendidikan kolonial yang diskriminatif. Tamansiswa juga menekankan pada kebebasan, kemerdekaan, dan pembentukan karakter yang berlandaskan nilai-nilai kebangsaan. Tamansiswa juga memiliki prinsip utama yang diterapkan
dalam Pendidikan yaitu trilogi yang berarti:
- Ing ngarso sung tulodo ( didepan memberi teladan )
- Ing madyo mangun karso ( Ditengah membangun semangat ), dan
- Tut Wuri Handayani ( Dibelakang memberi dorongan )
Dalam konteks tersebut, filosofi ini tetap sesuai untuk membangun sebuah generasi emas yang tidak hanya secara cerdas pikiran, tetapi juga memiliki jiwa karakter yang kuat dan kebangsaan yang tinggi. Juga dalam menuju Indonesia Emas 2045 terdapat beberapa tantangan dalam Pendidikan, diantaranya:
1. Kesenjangan Pendidikan
Dalam kesenjangan Pendidikan ini hal yang terkait itu mengenai askes Pendidikan antara perkotaan dan pedesaan yang masih menjadi masalah utama. Terutama anak-anak yang yang ada di daerah terpencil mereka tidak mendapatkan fasilitas Pendidikan yang kurang memadai.
2. Kualitas Pendidikan
Di Indonesia kualitas Pendidikan masih sangat terlihat rendah jika dibanding dengan negara" maju yang dapat terbukti rendahnya peringkat Indonesia dalam tes internasional seperti PISA ( Programme for International Student Assessment ).
3. Relevansi Kurikulum
Kurikulum dalam pendidikan ini sering kali dianggap kurang sejalan dengan perkembangan zaman. Juga pendidikan formal cenderung fokus pada aspek akademik tanpa memperhatikan perkembanga dan karakter.
4. Bonus Demografi
Pada 2045, Indonesia diprediksi akan mengalami bonus demografi, dimana jumlah penduduk akan semakin bertambah namun apabila tidak dikelola dengan baik, maka bonus ini dapat menjadi bencana demografi.
Dari tantangan diatas, pendidikan tamansiswa pun juga memiliki beberapa Solusi untuk menghadapi tantangan tersebut, diantaranya:
1. Pendidikan berbasis karakter
Tamansiswa sangat menekankan pentingnya pembentukan karakter ini melalui Pendidikan. Ki hajar dewantara juga percaya bahwa Pendidikan bukan hanya soal memberikan ilmu tetapi juga pembentukan budi pekerti. Dan dari Pendidikan karakter ini dalam konteks Indonesia emas 2045 dapat mencetak generasi yang tidak hanya cerdas saja namun memiliki etika dan rasa tanggung jawab.
2. Pendidikan Merdeka
Konsep Pendidikan Merdeka yang diterapkan pada tamansiswa mengajarkan kebebasan berfikir dan belajar sesuai dengan potensi setiap individu. Dari Pendidikan yang memberikan kebebasan akan melahirkan innovator dan pemimpin yang dapat berfikir kreatif dalam menghadapi suatu permasalahan.
3. Kearifan lokal sebagai basis Pendidikan
Tamansiswa juga mengintegrasikan nilai-nilai budaya lokal dalam Pendidikan. Dengan menjadikan kearifan local sebagai basis, generasi muda tidak hanya mengenal budaya global tetapi juga bangga dengan identitas kebangsaan mereka. Yang dalam konteks Indonesia emas 2045, dapat menjaga keutuhan dan keberagaman bangsa.
Tamansiswa juga mengimplementasikan metode pengajaran yang interaktif dan partisipatif. Guru tidak hanya berperan sebagai pemberi materi, tetapi juga sebagai fasilitator yang
mendorong siswa untuk aktif berdiskusi dan mengemukakan pendapat. Metode ini bertujuan untuk melatih siswa berpikir kritis dan mandiri, sehingga mereka tidak hanya menjadi penerima informasi, tetapi juga mampu menganalisis dan mengevaluasi informasi tersebut. Dalam konteks nasionalisme, kemampuan berpikir kritis ini penting agar siswa dapat memahami dan mengkritisi berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan, serta memperkuat tekad mereka untuk memperjuangkan keadilan dan kedaulatan bangsa. Pendekatan pendidikan di Tamansiswa juga sangat memperhatikan pengembangan karakter siswa. Nilai-nilai seperti gotong royong, disiplin, tanggung jawab, dan integritas diajarkan melalui berbagai kegiatan disekolah. Misalnya, kegiatan kerja bakti dan proyek kelompok mendorong siswa untuk bekerja sama dan saling membantu, yang merupakan cerminan dari semangat gotong royong.
Nilai-nilai ini tidak hanya penting untuk kehidupan sehari-hari, tetapi juga menjadi fondasi bagi terbentuknya sikap nasionalisme yang kuat. Tamansiswa juga memberikan ruang bagi siswa untuk terlibat dalam kegiatan sosial dan kemasyarakatan. Aktivitas seperti pementasan seni, upacara bendera, dan peringatan hari-hari besar nasional menjadi bagian dari kurikulum yang bertujuan untuk menanamkan rasa bangga dan cinta kepada tanah air. Melalui keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan ini, siswa tidak hanya belajar tentang sejarah dan budaya Indonesia, tetapi juga
merasakan langsung pentingnya solidaritas dan kebersamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ki Hadjar Dewantara menekankan pentingnya kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat dalam mendidik anak. Dengan melibatkan orang tua dalam proses pendidikan, Tamansiswa memastikan bahwa nilai-nilai nasionalisme yang diajarkan di sekolah juga diterapkan dan diperkuat dirumah. Hal ini menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan sikap dan pemahaman nasionalisme siswa.
Berpikir merupakan kunci utama bagi transformasi hidup seseorang secara internal dan eksternal. Internal menyangkut refleksi diri, sementara eksternal 1 menyangkut bagaimana relasi dengan pihak luar diri. Begitulah awal munculnya apa yang disebut dengan pendidikan itu la lahir dari aktivitas berpikir manusia tentang hidup yang bermakna, bernilai, bermartabat dan bersahaja. Dalam konteks itu pula, gagasan-gagasan seorang Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan pertama-tama merupakan upayanya berpikir untuk menyiasati perwujudan kondisi kehidupan yang bermakna, bernilai, bermartabat dan bersahaja. Kehidupan demikian tentu menjadi prioritas penjajah bagi golongannya, tapi tidaklah demikian bagi golongan bumiputra (terjajah).
Gagasan-gagasan Ki Hadjar Dewantara seputar pendidikan merupakan tanggapan kritisnya terhadap kebutuhan golongan terjajah pada zamannya. Ia berpikir perihal bagaimana mencerdaskan orang-orang yang senasib dengan dirinya agar mereka sadar akan hak-hak
hidupnya. Dalam rangka itu pula, Ki Hadjar Dewantara sebetulnya telah berupaya membuka jalan untuk mengatasi persoalan kesenjangan sosial dan pelanggaran hak-hak manusia pada masanya. Pendidikan juga adalah usaha kebudayaan yang bermaksud memberi bimbingan dalam hidup timbulnya jiwa raga anak didik, agar dalam garis kodrat pribadinya dan pengaruh-pengaruh lingkungannya mendapat kemajuan hidup lahir batin. Pendidikan berlangsung dalam tiga lingkungan yang disebut Tri Pusat Pendidikan yaitu:
1. Lingkungan Keluarga
Terutama mengenai Pendidikan budi pekerti, keagamaan dan kemasyarakatan secara informal.
2. Lingkungan Sekolah
Terutama mengenai ilmu pengetahuan, kecerdasan dan pengembangan budi pekerti secara formal.
3. Lingkungan Masyarakat
Terutama mengenai pengembangan keterampilan latihan kecakapan pengembangan bakat secara non-formal.
Pendidikan tamansiswa dilaksanakan berdasarkan Sistem Among yaitu sistem Pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Dalam sistem ini, setiap pendidik harus meluangkan waktu selama 24 jam setiap harinya untuk memberikan pelayanan kepada anak didik.
1. Kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya.
2. Kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin, hingga hidup merdeka atau dapat berdiri sendiri (Ahmadi 1975: 44; Djumhur & Danasuparta (1976:174)
Penerapan " Sistem Among" dalam Pendidikan tamansiswa salah satu aspeknya adalah mewajibkan guru-guru untuk berperan sebagai " pemimpin yang berjalan tetapi mempengaruhi " dengan memberi kesempatan kepada anak didik untuk mengaktualisasikan diri. Inilah yang secara singkat disebut dengan semboyan " Tut Wuri Handayani " (Surjomihardjo, 1986:88).