-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

MENJADI GURU YANG SIGAP: MENGHADAPI TANTANGAN EMOSI DAN PERILAKU ANAK DI KELAS INKLUSIF

Rabu, 16 April 2025 | April 16, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-04-16T23:16:38Z

 MENJADI GURU YANG SIGAP: MENGHADAPI TANTANGAN EMOSI DAN PERILAKU ANAK DI KELAS INKLUSIF

Putri Natasyavrilla/2022015165

Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa

Putrinatasya0403@gmail.com




  1. Pendahuluan

Pendidikan sangat dibutuhkan bagi anak-anak dalam mencapai kesejahteraan sosialnya. Tak terkecuali bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus. Namun pada kenyataannya anak-anak dengan kebutuhan khusus menjadi anak yang dapat dikatakan kurang dalam perhatian atau masih dipandang sebelah mata. 

Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan adanya  pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi merupakan model pendidikan yang memberikan kesempatan bagi seluruh anak dengan berbagai macam latar belakang yang berbeda untuk belajar dengan anak lainnya. Menurut Leni dalam (Angraini dkk, 2024). Pendidikan inklusi lahir atas dasar prinsip bahwa layanan sekolah seharusnya diperuntukkan untuk semua anak tanpa menghiraukan perbedaan yang ada, baik anak dengan kondisi kebutuhan khusus, perbedaan sosial, emosional, cultural, maupun bahasa.

Di Indonesia, pendidikan inklusif semakin meluas dalam penerapannya seiring dengan hak setiap anak untuk mengakses sekolah tanpa diskriminasi. Meskipun demikian, keberagaman anak dalam kelas inklusif menghadirkan rintangannya sendiri, terutama ketika guru menghadapi anak dengan hambatan emosi dan perilaku.

Anak-anak dengan hambatan emosi dan perilaku mnunjukkan sikap agesif, ilmpulsif, menarik diri, hingga kesulitan dlam mengatur emosinya. Hal ini dapat mengganggu berlangsungnya proses belajar mengajar, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi teman-temannya. Pada konteks ini, guru memiliki peran penting tidak hanya sebagai guru, tetapi juga sebagai fasilitator dan pengeloladinamika sosial kelas. Akan tetapi, masih banyak guru yang merasa belum siap atau kurang dalam strategi untuk menghadapi kondisi ini.

Tulisan ini bertujuan untuk membahas  pentingnya peran guru yang sigap dalam menghadapi tantangan emosi dan perilaku anak di kelas inklusif. Selain itu, opinii ini jua akan mengangkat beberapa strategi konkret yang dapat diterapkan oleh guru agar dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi semua anak.


  1. Pembahasan

Anak dengan kebutuhan khusus di sekolah dasar beragam. Beberapa anak dengan kebutuhan khusus dapat diidentidfikasi dengan mudah karena memiliki karakteristik yang dapat diamati, namun banyak juga yang tidak dapat diidentifikasi dengan mudah seperti anak denganbakat istimewa, anak kesuliatan belajar spesifik, dan anak dengan gangguan emosi dan perilaku.

Hambatan emosi dan perilaku memiliki dampak negatif bagi individu, keluarga, masyarakat, dan tak terkecuali fungsi akademik (Ogundele, 2018). Anak dengan gangguan emosi dan perilaku memiliki kegagalan akademik ditunjukkan dengan hasil belajar yang rendah bahkan terdapat kasus anak yang dikeluarkan dari sekolah. Anak dengan gangguan emosi dan perilaku menunjukkan kendala yang beragam dalam belajar yang dimanifestasikan dalam bentuk perilaku tidak sesuai. Perilaku-perilaku tidak sesuai muncul di kelas dan dianggap sebagai perilaku yang menantang bagi guru, seperti kehilangan fokus dalam instruksi akademik. Anak mudah terganggu fokusnya terhadap instruksi yang diberikan oleh guru.

Anak dengan hambatan emosi dan perilaku sering kali menunjukkan gejala yang beragam. Beberapa dari mereka mengalami kesulitan dalam mengelola emosi, seperti mudah marah, menangis tanpa sebab, atau menunjukkan frustrasi yang berlebihan. Ada juga yang menunjukkan perilaku agresif, seperti memukul, membentak, atau merusak barang. Sebagian lainnya justru cenderung menarik diri, enggan berinteraksi, dan tampak tidak peduli terhadap lingkungan sekitar.

Perilaku-perilaku ini bukanlah bentuk kenakalan, melainkan sinyal bahwa anak tersebut sedang mengalami kesulitan yang tidak dapat diungkapkan secara verbal. Mereka mungkin merasa tidak aman, tidak dimengerti, atau mengalami tekanan tertentu baik dari lingkungan rumah maupun sekolah. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk memahami bahwa perilaku negatif yang muncul adalah bentuk komunikasi yang harus ditanggapi dengan empati dan strategi yang tepat.

Mengelola kelas inklusif dengan berbagai karakteristik anak membutuhkan keterampilan yang kompleks. Guru tidak hanya dituntut untuk menguasai materi pelajaran, tetapi juga mampu membangun hubungan interpersonal yang kuat dengan anak, memahami latar belakang mereka, serta stigma sosial yang masih melekat pada anak berkebutuhan khusus. Guru sering kali belum memiliki keterampilan yang memadai untuk mengelola perilaku anak dengan gangguan emosional, sehingga diperlukan pelatihan dan pendampingan yang berkelanjutan agar guru dapat menerapkan strategi pembelajaran yang adaptif dan suportif. 

Guru juga kerap mengalami stres dan kelelahan emosional ketika harus menghadapi anak dengan kebutuhan emosi khusus secara terus-menerus. Jika tidak ditangani, hal ini bisa berdampak pada kualitas pengajaran dan hubungan guru-anak.

Menjadi guru yang sigap bukan berarti guru harus selalu tahu jawaban dari setiap tantangan. Sigap di sini merujuk pada sikap tanggap, peka, dan siap belajar serta beradaptasi. Guru yang sigap adalah guru yang tidak hanya fokus pada akademik, tetapi juga memperhatikan aspek emosional dan sosial anak. 

Guru yang sigap memiliki kemampuan untuk mendeteksi tanda-tanda awal munculnya masalah perilaku, memberikan respons yang tepat dan cepat terhadap perilaku bermasalah, membangun komunikasi yang terbuka dengan anak, orang tua, dan tenaga pendukung lainnya, dan melakukan refleksi diri dan evaluasi terhadap pendekatan yang digunakan

Dengan menjadi guru yang sigap, guru dapat menciptakan suasana kelas yang aman, mendukung, dan ramah bagi seluruh anak, termasuk mereka yang memiliki hambatan.

Ada beberapa strategi yang dapat digunakan oleh guru untuk menghadapi tantangan anak dengan hamabatan emosi dan perilaku. Guru dapat membangun hubungan positif sejak awal dengan anak, menetapkan aturan kelas secara bersama-sama, serta menciptakan lingkungan yang aman dan konsisten. Anak akan merasa dihargai dan lebih mungkin menunjukkan perilaku positif jika mereka merasa dilibatkan. Memberikan pujian, reward, atau bentuk penghargaan lainnya ketika anak menunjukkan perilaku baik. Misalnya, memberi bintang saat anak menyelesaikan tugas atau duduk tenang saat pelajaran. Penggunaan metode prilaku berupaya untuk mengubah prilaku yang menyimpang dan tidak baik menjadi prilaku yang baik sehingga dapat bersosialisai dan dapat diterima lingkungan sosial. Selain itu kolaborasi antaran keluarga, sekolah, teman, dan masyarakat dalam membimbing dan meminimalisisr tekanan sosial serta mendukung anak untuk berperilaku lebih baik (Anggraeni, D & Putro, 2021). Penyediaan pelatihan bagi guru agar lebih siap dalam menghadapi keberagaman yang ada. Pelatihan ini dapat berupa workshop, sosialisasi, seminar dan lain-lain tentang pendidikan iklusif.


  1. Kesimpulan

Kelas inklusif adalah representasi nyata dari keberagaman dalam dunia pendidikan. Dalam ruang yang sama, hadir anak-anak dengan berbagai latar belakang, karakteristik, dan kebutuhan. Tugas guru di dalamnya bukan hanya mentransfer ilmu, tapi juga menjadi jembatan emosi, pengatur dinamika sosial, dan fasilitator perkembangan anak.

Untuk bisa menjalankan peran tersebut, guru perlu menjadi pribadi yang sigap yang peka terhadap perubahan perilaku anak, tanggap dalam merespons situasi, serta terbuka terhadap proses belajar dan kolaborasi. Tantangan emosi dan perilaku bukanlah halangan untuk inklusi, justru menjadi peluang bagi kita semua untuk belajar lebih dalam tentang kemanusiaan, empati, dan makna pendidikan sesungguhnya.

Akhirnya, menjadi guru di kelas inklusif bukan sekadar profesi, tapi sebuah panggilan untuk membentuk masa depan yang lebih adil, ramah, dan penuh pengertian. Dan semua itu bisa dimulai dari satu tindakan sederhana yaitu menjadi guru yang sigap.


DAFTAR PUSTAKA


Angrain, A., Salsabila, A., Aisnania, R., Hadana, W. F., & Mustika, D. (2024). Pendidikan Inklusi Sebagai Peran Penting Dalam Memberikan Pendidikan Setara Kepada Anak Berkebutuhan Khusus. Jurnal Review Pendidikan dan Pengajaran, 7(3), 6332.

Dini Anggraeni, K. Z. (2021). Strategi Penanganan Hambatan Perilaku Dan Emosi Pada Anak Hiperaktif dan Tunalaras. JAPRA Jurnal Pendidikan Raudhatul Athfal, 4(2), 50-55.

Irmawanti, & Mahabbati, A. (2023). Profil Siswa Beresiko Gangguan Emosi dan Perilaku di Sekolah Inklusi Kota Yogyakarta. Jurnal Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 7(2), 2124-2127. doi:https://doi.org/10.31004/obsesi.v7i2.4251

Muthmainah. (2022). Peran Guru Dalam Melatih Anak Mengelola Emosi. Yaa Bunayya : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 6(1), 64-66.

Prabawati, W., Mahabbati, A., Diniarti, G., & Purwanta, E. (2023). Identifikasi Peserta Didik dengan Gangguan Emosi dan Perilaku di Sekolah Dasar. Sekolah Dasar: Kajian Teori dan Praktik Pendidikan, 32(2), 142-143.



×
Berita Terbaru Update