Peran Guru dalam Mengelola Peilaku Anak dengan Hambatan Emosi dan Perilaku di Kelas Inklusif
Ibnu Dzahwa 2022015156
Raphael Franz S 2022015163
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
Abstrak
Pendidikan inklusif merupakan pendekatan penting yang direkomendasikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Pendekatan ini menghargai keberagaman siswa dan berupaya mengakomodasi perbedaan tanpa merugikan siswa lainnya, sehingga menciptakan pembelajaran yang unik dan bermanfaat bagi semua. Penelitian Howard dan Orlansky (1988) serta Sunardi (1996) menunjukkan bahwa anak-anak disabilitas memiliki potensi kecerdasan namun mungkin terbatas dalam mempelajari hal baru atau beradaptasi dengan situasi asing, serta menghadapi kesulitan dalam belajar, berpikir abstrak, menggunakan pemikiran kritis, menghindari kesalahan, dan merencanakan masa depan. Berdasarkan hal ini, anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk tunalaras, memiliki hak yang sama.
Pendahuluan
Pendidikan adalah hak dasar setiap individu, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusif memungkinkan semua siswa, baik yang memiliki hambatan maupun tidak, untuk belajar bersama dalam lingkungan yang setara dan saling mendukung. Salah satu kelompok yang memerlukan perhatian khusus adalah anak dengan gangguan emosi dan perilaku, yang sering kesulitan mengelola emosi, berinteraksi sosial, dan menyesuaikan diri dengan norma sekolah.
Anak-anak dengan gangguan emosi dan perilaku seringkali sulit beradaptasi di sekolah, menunjukkan perilaku sulit dikendalikan, mudah marah, menarik diri, atau kesulitan membangun hubungan sosial. Hal ini mempengaruhi proses belajar mereka dan suasana kelas. Tanpa pendekatan yang tepat, mereka bisa merasa terpinggirkan dan tidak berkembang optimal.
Pendidikan inklusif hadir sebagai solusi agar anak-anak ini tidak terisolasi. Namun, pelaksanaannya memerlukan guru yang peka dan terlatih, metode pembelajaran fleksibel, serta dukungan dari semua pihak di sekolah agar mereka dapat belajar dengan nyaman dan sesuai kemampuannya. Artikel ini membahas penerapan pendidikan inklusif bagi anak-anak dengan gangguan emosi dan perilaku di kelas inklusif dan hal-hal yang perlu diperhatikan agar mereka merasa diterima dan dapat belajar dengan baik.
Pembahasan
Pengertian dan Contoh
Tunalaras adalah kondisi seseorang dengan gangguan emosi dan perilaku, menunjukkan penyimpangan dari norma atau kebiasaan orang normal, seperti sering marah, merusak, agresif, dan mengganggu orang lain. Tunalaras dapat disebabkan oleh faktor internal (biologis dan psikologis) maupun eksternal (lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat).
Faktor internal biologis meliputi genetik, kondisi fisik tidak seimbang (neurotransmiter otak, kerusakan otak, cacat fisik, masalah kesehatan kronis), masalah perkembangan emosional, dan disfungsi kelenjar endokrin. Faktor internal psikologis meliputi harga diri rendah, trauma masa lalu, pola kepribadian (mudah marah, penyendiri, sensitif), dan masalah kelekatan.
Faktor eksternal dari keluarga meliputi ketidakharmonisan, pola asuh tidak konsisten atau negatif (penolakan, pengabaian, kekerasan, kurang perhatian), kemiskinan, dan kehilangan figur keluarga. Faktor eksternal dari sekolah meliputi kesulitan berinteraksi (menyesuaikan diri, bullying), dan tekanan akademik berlebihan. Faktor eksternal dari masyarakat meliputi pengaruh teman sebaya negatif, tekanan sosial budaya, dan paparan media kekerasan.
Karakteristik Anak Tunalaras
Anak tunalaras menunjukkan ciri-ciri gangguan emosional dan sosial akibat penyesuaian diri yang tidak tepat, seperti hubungan tidak nyaman dengan keluarga dan teman, tidak mau berkomunikasi, suka menghindari tugas, menangis, kecewa, berbohong, mencuri, menghina, ingin dipuji, selalu ingin mandiri, pengecut, minder, kurang inisiatif dan tanggung jawab, agresif, curiga, acuh tak acuh, dan berfantasi tentang diri sendiri, serta menunjukkan perilaku gugup.
Anak-anak dengan harga diri rendah sering merasa banyak kekurangan, takut tampil di depan umum, banyak mengeluh, tidak mau mencoba hal baru yang bisa mengungkap kekurangan, selalu mengejar keunggulan tanpa puas, dan memiliki kepribadian introvert.
Ciri lain anak tunalaras adalah nada bicara kasar, cepat tersinggung, sering merasa tidak nyaman, suka mencari perhatian, merasa lebih dari orang lain, berbicara keras, mempermalukan orang lain, dan suka melakukan hal buruk.
Beberapa gejala yang dapat bermanifestasi sebagai disabilitas intelektual antara lain: anxious histeria (ketakutan tanpa alasan), histeria transformasional (perubahan fungsi tubuh akibat menekan keinginan), gangguan obsesif-kompulsif (melalaikan tanggung jawab, banyak alasan, berlibur, berjalan dalam diam, merasa sangat sensitif dan takut agresif), penyimpangan seksual, dan neurosis kepribadian (perubahan perilaku karena konflik internal belum terselesaikan).
Sikap Terhadap Anak Tunalaras
Sikap guru terhadap pendidikan inklusif mencerminkan komitmen terhadap perkembangan anak berkebutuhan khusus. Sikap inklusif guru terhadap anak tunalaras harus penuh perhatian, meliputi:
Empati dan pemahaman: memahami perasaan, pikiran, dan tantangan anak.
Kesabaran dan ketekunan: konsisten dalam menerapkan strategi dan aturan.
Penerimaan dan penghargaan: menerima anak sebagai individu unik dengan kelebihan dan kekurangan.
Fleksibilitas dan adaptabilitas: terbuka mencoba berbagai pendekatan dan solusi kreatif, serta bekerja sama dengan orang tua, psikolog, terapis, dan profesional lain.
Keterampilan komunikasi efektif: menyampaikan instruksi dan harapan dengan jelas dan mudah dipahami.
Menciptakan lingkungan aman dan mendukung: menciptakan kelas yang aman, nyaman, damai, dan inklusif.
Pengembangan diri dan refleksi: secara teratur merefleksikan praktik mengajar dan mengevaluasi efektivitas strategi.
D. Tantangan dalam Menyikapi Anak Tunalaras
Kurangnya Kompetensi Guru dalam Strategi Intervensi Perilaku: Guru sering tidak memiliki pelatihan khusus menangani perilaku anak tunalaras, sehingga kesulitan mengelola kelas dan memberikan intervensi efektif. Pelatihan strategi intervensi perilaku, seperti positive behavioral support, penting untuk menciptakan lingkungan belajar kondusif.
Keterbatasan Sarana dan Prasarana Pendukung: Banyak sekolah inklusif belum memiliki fasilitas memadai untuk mendukung kebutuhan anak tunalaras, termasuk alat bantu pembelajaran dan ruang khusus intervensi perilaku. Keterbatasan ini menghambat proses pembelajaran efektif.
Stigma Sosial dan Kurangnya Dukungan dari Lingkungan Sekitar: Anak tunalaras sering menghadapi stigma dari teman sebaya dan masyarakat, mempengaruhi kepercayaan diri dan partisipasi. Kurangnya kesadaran dan dukungan dari orang tua serta masyarakat memperburuk situasi.
Kesulitan dalam Komunikasi dan Interaksi Sosial: Anak tunalaras mungkin kesulitan berkomunikasi dan berinteraksi dengan teman dan guru, menghambat belajar dan integrasi sosial. Keterbatasan ini memerlukan perhatian khusus dalam perencanaan pembelajaran.
Kesimpulan
Dalam pendidikan inklusif, peran guru sangat krusial dalam mengelola perilaku anak tunalaras yang sering menunjukkan kesulitan mengelola emosi, berinteraksi sosial, dan menyesuaikan diri. Guru berperan sebagai pengajar, fasilitator, mediator, dan pendukung yang menciptakan lingkungan belajar aman, nyaman, dan inklusif. Guru perlu memahami karakteristik anak tunalaras dan memiliki sikap inklusif, empati, sabar, dan adaptif.
Guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran terdiferensiasi, menyesuaikan metode dengan kebutuhan siswa, serta menerapkan manajemen perilaku positif. Kolaborasi dengan orang tua dan profesional lain menjadi kunci mengembangkan strategi intervensi efektif dan memberikan dukungan komprehensif. Pengembangan kompetensi guru melalui pelatihan dan refleksi diri penting untuk meningkatkan kemampuan menangani anak tunalaras. Dengan demikian, pendidikan inklusif dapat memberikan kesempatan yang sama bagi semua anak, termasuk yang berkebutuhan khusus, untuk belajar dan berkembang bersama.
Aditya, S. A. (2018). Pendidikan Inklusif Bagi Siswa Tunalaras . Jurnal Jassi Anakku Vol. 19(2), 51-58.
Afiyah, A. R. (2018). Penanganan Pembelajaran Pada Anak Berkebutuhan Khusus Terutama pada Tunadksa di MI Nurul Huda Sedati.
Anantasari. (2000). Menyikapi Perilaku Agresif Anak. Yogyakarta: Kanisius.
Durant, V. M., & Barlow, D. H. (2006). Essentials of Abnormal Psychology. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lazar, F. L. (2020). Pentingnya Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus. JKPM: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, 99-115.