PERAN GURU DALAM MENGELOLA PERILAKU ANAK DENGAN HAMBATAN EMOSI DAN PERILAKU DI KELAS INKLUSIF
Muhammad Hafish/2022015083
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
e-mail : hafishmuhammadhafish@gmail.com
Pendahuluan
Pendidikan adalah salah satu cara untuk meningkatkan kualitas hidup. Pendidikan menjadi elemen penting bagi kehidupan, karena mampu menciptakan generasi yang bermartabat, dewasa, serta bisa berkontribusi baik di masyarakat dan lingkungan sekitar. Setiap warga negara Indonesia mendapatkan hak untuk belajar, sesuai dengan Undang-undang yang tercantum dalam Pasal 31 ayat (1) “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Dari ketentuan ini bertujuan agar setiap individu mendapatkan haknya dalam Pendidikan untuk terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas dan kompeten dalam berbangsa dan negara.
Dalam proses pembelajaran, guru akan menjumpai berbagai karakter siswa dari berbagai latar belakang yang berbeda. Lingkungan keluarga yang biasanya mempengaruhi karakteristik siswa dan menjadi faktor utama dalam pendidikan anak. Oleh sebab itu, guru akan menemui berbagai jenis karakter, dari siswa yang berkembang secara umum maupun mereka yang termasuk anak berkebutuhan khusus. Keduanya memiliki hak dan kewajiban sama dalam memperoleh pendidikan. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pada Pasal 23. Pasal ini menjelaskan bahwa pendidikan khusus diberikan kepada peserta didik yang mengalami kesulitan dalam belajar karena gangguan fisik, mental, emosional, atau sosial. Istilah “anak berkebutuhan khusus” dan “anak luar biasa” kerab menimbulkan pemahaman cukup besar yang berbeda-beda. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan layanan pendidikan berbeda dari anak-anak pada umumnya, karena disesuaikan dengan kondisi fisik, mental, emosional, kecerdasan, atau sosial anak. Anak-anak ini membutuhkan pendidikan secara khusus yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Anak-anak dengan gangguan emosional dan perilaku memiliki ciri tertentu, dan perilaku mereka seringkali dapat menggangu kenyamanan siswa lain. Untuk mendeteksi gangguan ini tidak mudah, karena sifatnya bisa mirip dengan perilaku anak-anak pada umumnya. Namun mereka yang mengalami gangguan ini sering mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari lingkungan sosial, padahal seharusnya mereka perlu perhatian dan pendekatan secara khusus dalam proses pendidikan.
Peran guru sangat penting dalam mendidik dan membimbing seorang anak yang berkebutuhan khusus. Seorang guru harus memiliki pengalaman dan pengetahuan khusus dibidangnya agar segala kewajibanya dalam mendidik dan memberikan sebuah pengetahuan dapat dipahami dengan mudah oleh anak yang berkebutuhan khusus. Dalam proses pembelajaran, tenaga pendidik atau seorang guru harus memiliki kesabaran agar anak-anak berkeburuhan khusus mendapatkan perhatian dan perlakuan yang setara dengan anak-anak lainnya. Di sisi lain, seorang guru yang menangani anak berkebutuhan khusus juga harus memiliki karakter yang kreatif, profesional, teliti, dan mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan.
Pendidikan inklusif di Indonesia saat ini telah mengalami berbagai kemajuan dan pembaruan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Pendidikan inklusif focus pada pemenuhan hak anak yang memiliki kebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan yang setara dengan anak pada umumnya. Saat ini, setiap sekolah berupaya untuk menyediakan tempat khusus sebagai wadah pembelajaran bagi anak yang memiliki kebutuhan khusus, supaya mereka juga dapat belajar sesuai kebutuhan mereka.IMelalui pendidikan yang diberikan kepada anak-anak diharapkan mampu mengembangkan kemampuan berfikir mereka secara optimal, sesuai dengan karakter anak masing-masing. Karena setiap anak memiliki proses berfikir yang berbeda, maka pendekatanya pun tidak bisa disama ratakan. Hal ini harus diperhatikan karna memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan mereka di masa depan.
Dukungan dari orang tua sangat peting agar anak-anak dapat berkembang dan berprestasi walaupun memiliki kebutuhan khusus. Oleh karna itu, peranan guru dan orang tua sangat diperlukan dalam mendukung perkembangan anak berkebutuhan khusus.
Pembahasan
Memahami hambatan emosi dan perilaku (Tunalaras)
Kata tunalaras berasal dari kata “tuna” yang berarti kurang dan “laras” yang berarti sesuai. Jadi, anak tunalaras adalah anak yang memiliki kekurangan dalam bertingkah laku atau tidak sesuai dengan lingkungan. Tunalaras merupakan kondisi yang dialami seseorang dalam gangguan emosi dan perilaku secara berlebihan, sehingga mengakibatkan kesulitan dalam menjalani hubungan sosial dengan lingkungan sosial. Anak yang memiliki kekurangan tunalaras sering dianggap sebagai individu yang anti sosial karena sulit menempatkan secara tepat di masyarakat dan memiliki hambatan dalam bersosialisasi, yang berdampak pada kesulitan dalam berteman. Anak tunalaras adalah mereka yang memiliki gangguan emosi dan perilaku dalam berinteraksi dengan teman, lingkungan sosial, maupun masyarakat secara umum. Gangguan ini dapat ditimbulkan akibat faktor internal maupun eksternal.
Di dalam Undang-undang Pokok Pendidikan No. 12 Tahun 1952, anak tunalaras merupakan individu yang menunjukkan perilaku menyimpang dan berbeda dari kebiasaan umumnya, dan sering kali melanggar aturan dan norma sosial dengan intensitas yang cukup tinggi. Anak yang memiliki kekurangan tunalaras cenderung memiliki tingkat toleransi yang kurang terhadap kelompok maupun individu yang lain. Menurut Eli M. Bower, anak yang mengalami gangguan emosi atau perilaku dapat dikenali jika menunjukkan salah satu dari lima ciri berikut:
Ketidakmampuan dalam belajar yang bukan disebabkan oleh masalah intelektual, sensorik, atau kesehatan.
Kesulitan menjalin hubungan yang harmonis dengan teman sebaya maupun guru.
Menunjukkan perilaku atau respons emosional yang tidak sesuai dengan situasi.
Secara umum, berada dalam kondisi emosional yang tidak stabil, cenderung murung, atau mengalami depresi.
Menunjukkan gejala fisik seperti merasa sakit atau takut yang berkaitan dengan orang-orang atau situasi di lingkungan sekolah.
Anak yang mengalami gangguan emosi dan prilaku bisa dikenali dari beberapa tanda berikut:
Menunjukkan sikap menantang atau tidak patuh
Memiliki emosi yang tidak stabil
Melakukan tindakan agresif
Sering melanggar aturan sosial, norma kesusilaan, maupun hukum.
Peranan Guru Kelas
Anak yang mengalami ketertinggalan dalam perkembangan atau termasuk dalam golongan anak berkebutuhan khusus kerap tidak dapat mengikuti pembelajaran sesuai dengan kapasitas mereka. angkan, masih ada guru yang belum mampu memahami dan membimbing anak-anak tersebut secara maksimal. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran bahwa peran guru sangat penting dalam menentukan dan mendukung proses belajar anak berkebutuhan khusus. Orang tua juga memiliki peran penting dalam memahami kemampuan anak mereka. Namun, tidak dapat disangkal bahwa peran guru menjadi peran utama dalam membantu anak berkebutuhan khusus mencapai potesi terbaiknya. Peran yang dimaksud disini adalah kemampun guru dalam menghadapi dan memberikan perlakuan khusus yang cocok untuk mengembangkan kemampuan anak di sekolah.
Guru berperan sebagai fasilitator yang bertanggung jawab dalam menyampaikan pengetahuan dan mengarahkan yang didiukung dengan kualitas akademik yang memadai. Dalam perannya, sosok guru paling penting dalam dunia pendidikan, memiliki fungsi untuk membimbing, memotivasi, dan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan menginspirasi bagi peserta didik. Guru juga membantu mengembangkan karakter dan prilaku siswa sesuai nilai-nilai yang berlaku, baik dibidang akademik maupun non akademik.
Tugas seorang guru tidak lah mudah, karena bukan hanya bertanggung jawab dalam mengajar, namun juga membimbing dan memberikan contoh yang baik bagi siswa. Seorang guru harus menjadi panutan bagi peserta didik dalam hal moral, kedisiplinan waktu, penampilan yang rapi, serta ketaatan terhadap norma-norma yang ada. Guru juga wajib menanamkan kebiasaan positif kepada peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Dalam peraktiknya, guru dipaksa untuk memiliki kesiapan dan kereativitas dalam mengajar siswa dengan kebutuhan khusus, termasuk sarana dan prasarana yang memadai seperti ruang belajar khusus bagi anak berkebutuhan khusus.
Anak tunalaras memiliki perbedaan dari anak-anak normal atau individu lainnya. Mereka memiliki kesulitan dalam mengontrol emosi,perilaku, dan interaksi social. Hambatan itu yang menyebabkan anak tunalaras mengalami kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran. Akibatnya, mereka menjalani pembelajaran dengan tidak tenang dan kemudian berdampak pada kemampuan kognitif yang rendah karena kesulitan mengendalikan diri di kelas.
Melihat kondisi ini, sangat perlu adanya media pembelajaran yang menarik untuk membantu proses pembelajaran agar lebih efektif. Salah satu media yang dapat digunakan adalah media buku pop up. Buku ini memiliki elemen tiga dimensi yang memvisualisasikan cerita lebih hidup dan bisa menarik perhatian siswa saat dibuka. Penggunaan buku pop up selain mampu menarik perhatian siswa, penggunaannya juga dapat meningkatkan motivasi belajar, serta membuat pembelajaran menjadi lebih mudah dan efektif.
Salah satu Upaya yang dapat dilakukan untuk membentuk karakter anak menjadi lebih baik adalah dengan menanamkan akhlak dengan melalui Langkah-langkah yang bisa diambil seperti berikut:
Membiasakan anak bersikap sopan santun
Menanamkan nilai akhlak yang baik dalam proses pembelajaran
Membiasakan sikap terpuji di luar kelas, seperti mengajarkan cara bersosialisasi yang baik
Mendorong perilaku baik secara konsisten.
Dari penanaman nilai-nilai akhlak pada anak tunalaras dapat membantu mengubah kebiasaan ke arah yang lebih baik. Anak tunalaras bisa diberikan bimbingan moral dan spiritual selama metode yang digunakan sesuai dengan karakteristik anak.
Kesimpulan
Anak tunalaras adalah individu dengan gangguan dalam pengendalian emosi dan perilaku yang berdampak pada kesulitan berinteraksi sosial dan mengikuti pembelajaran. Gangguan ini disebabkan oleh beberapa factor, baik internal maupun eksternal, dan seringkali menyebabkan rendahnya kemampuan kognitif karena sulit berinteraksi di lingkungan kelas.
Peran guru sangat krusial dalam Pendidikan inklusif, terutama dalam membimbing dan memfasilitasi pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Guru tidak hanya dituntut untuk memiliki kemampuan akademik, tetapi juga bersikap professional, sabar, kreatif, dan mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Selain itu, guru berperan penting dalam membentuk moral dan karakter anak tunalaras melalui penanaman nilai-nilai akhlak di dalam atau di luar kelas.
Secara keseluruhan, keberhasilan Pendidikan anak tunalaras sangat bergantung pada kolaborasi antar guru, orang tua, dan lingkungan sekolah inklusif serta pembelajaran yang sesuai dengan karateristik masing-masing anak.
DAFTAR PUSTAKA
Ainu Ningrum, Nila, ‘Strategi Pembelajaran Pada Anak Berkebutuhan Khusus Dalam Pendidikan Inklusi’, Indonesian Journal of Humanities and Social Sciences, 3.2 (2022), pp. 181–96, doi:10.33367/ijhass.v3i2.3099
Daulay, Nur Afifa, Tria Mayanjani, Sahri Wulandari, and Nefi Darmayanti, ‘Pentingnya Mengenali Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus Tuna Laras’, Journal Of Social Science Research, 3.3 (2023), pp. 3652–58
Faatin Thufail, Durriyah, and Afakhrul Masub Bakhtiar, ‘Pentingnya Peran Guru Pendamping Khusus Bagi Siswa Berkebutuhan Khusus Di Kelas Inklusi Sekolah Dasar’, Pendas : Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, 08.Volume 8 No. 3 September 2023 (2023), pp. 3931–44, doi:10.23969/jp.v8i2.10301
Fronika, Dhea, Anisa Putri Listari, Dea Olivia, Messi Yulistina, and Nova Asvio, ‘Dhea Fronika Dkk :Sosialisasi Anak Berkebutuhan Khusus …| 339 Penanaman Nilai-Nilai Islami Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Tuna Laras’, 4, 2023, pp. 339–46 <https://siducat.org/index.php/ghaitsa>
Manjari Dewi, Wayan Kesi, and I Putu Gede Budi Arnawa, ‘Peranan Guru Kelas Dalam Pembelajaran Inklusif Pada Anak Berkebutuhan Khusus’, Metta : Jurnal Ilmu Multidisiplin, 3.4 (2023), pp. 581–94, doi:10.37329/metta.v3i4.2930
Ndek, Fransiska Saveriana, Maria Julita Lulu, Maria Bate, and Maria Stefania Weo, ‘Peran Fasilitas Pendidikan Dalam Meningkatkan Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus’, Jurnal Pendidikan Inklusi Citra Bakti, 1.1 (2023), pp. 39–49, doi:10.38048/jpicb.v1i1.2110