Peran Guru Dalam Mengelola Perilaku Anak Dengan Hambatan Emosi dan Perilaku Dikelas Inklusif
GM. Purnama Siagian / 2021015170
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
gmpurnamasiagian@gmail.com
I. Pendahuluan
Pendidikan inklusif merupakan pendekatan yang menekankan pada pemberian layanan pendidikan yang setara bagi seluruh peserta didik, termasuk anak-anak dengan hambatan emosi dan perilaku. Di tengah keberagaman karakteristik siswa, guru di kelas inklusif memiliki peran krusial sebagai fasilitator utama dalam menciptakan lingkungan belajar yang adaptif dan suportif (Astuti & Wibowo, 2021). Anak dengan hambatan emosi dan perilaku seringkali menunjukkan kesulitan dalam mengelola emosi, interaksi sosial, serta penyesuaian terhadap aturan kelas, yang jika tidak ditangani dengan tepat dapat mengganggu proses belajar baik bagi dirinya sendiri maupun siswa lain (Ramadhani & Masykur, 2022).
Peran guru dalam konteks ini tidak terbatas pada pengajaran semata, tetapi juga melibatkan pengelolaan perilaku, regulasi emosi, serta kolaborasi dengan pihak lain seperti guru pendamping khusus dan orang tua. Guru dituntut untuk memiliki kemampuan dalam mengenali karakteristik siswa, menerapkan pendekatan penguatan positif, serta menciptakan rutinitas yang dapat membantu anak beradaptasi dengan situasi kelas (Nurjanah & Suharti, 2020). Pengelolaan yang efektif juga bergantung pada kesiapan guru dalam menyesuaikan strategi pembelajaran serta menggunakan asesmen informal untuk memantau perkembangan perilaku siswa (Hasanah, 2022).
Dalam praktiknya, kerjasama antara guru kelas dan guru pendamping khusus menjadi faktor penentu keberhasilan implementasi pendidikan inklusif, terutama dalam menangani kasus anak dengan gangguan emosi dan perilaku (Mulyani & Priyono, 2021). Melalui pemahaman yang mendalam, pendekatan yang humanis, serta komitmen kolaboratif, guru dapat membangun suasana pembelajaran yang kondusif dan menghargai perbedaan.
II. Pembahasan
A. Identifikasi Hambatan Emosi dan Perilaku
Langkah awal dalam mengelola perilaku siswa dengan hambatan emosi dan perilaku adalah melakukan identifikasi secara tepat. Menurut Astuti dan Wibowo (2021), guru harus mampu mengenali karakteristik siswa melalui observasi, asesmen informal, dan kerja sama dengan guru pendamping khusus. Identifikasi yang akurat menjadi dasar penting untuk menentukan pendekatan atau intervensi yang sesuai dengan kebutuhan siswa.
Selain itu, pemahaman guru terhadap latar belakang keluarga, pengalaman traumatis, dan pola interaksi sosial siswa juga diperlukan untuk membangun pendekatan yang empatik dan personal. Dalam jurnal Ramadhani dan Masykur (2022), disebutkan bahwa guru yang melakukan asesmen awal secara sistematis cenderung lebih berhasil dalam mengatur strategi kelas inklusif yang adaptif.
B. Strategi Pengelolaan Perilaku
Pengelolaan perilaku memerlukan penerapan strategi yang sistematis, konsisten, dan disesuaikan dengan karakteristik masing-masing siswa. Strategi yang banyak digunakan antara lain penguatan positif (reinforcement), penggunaan kontrak perilaku, teknik timeout, hingga pendekatan behavior modification. Ramadhani dan Masykur (2022) menekankan pentingnya penguatan positif dalam membentuk perilaku prososial anak dengan hambatan emosi dan perilaku.
Penggunaan media pembelajaran yang menarik dan variatif, pengaturan tempat duduk yang fleksibel, serta pemberian instruksi yang jelas juga merupakan strategi yang dianjurkan. Hasanah (2022) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis visual sangat membantu siswa dengan gangguan perilaku untuk lebih fokus dan memahami materi dengan lebih baik. Guru juga perlu menyediakan waktu belajar tambahan serta memodifikasi tugas agar sesuai dengan kemampuan siswa.
C. Regulasi Emosi Guru
Kemampuan guru dalam mengelola emosi pribadi sangat menentukan keberhasilan intervensi di kelas inklusif. Guru yang mampu mengontrol emosi negatif seperti marah, frustrasi, atau kecewa dapat menciptakan lingkungan kelas yang lebih suportif dan
kondusif. Nurjanah dan Suharti (2020) menekankan bahwa regulasi emosi guru adalah kunci dalam menangani perilaku menantang secara bijak dan profesional. Guru yang empatik dan sabar juga lebih mudah menjalin hubungan yang positif dengan siswa, sehingga membangun rasa aman dan kepercayaan dalam kelas. Sikap terbuka dan reflektif terhadap tantangan yang dihadapi juga memungkinkan guru untuk terus belajar dan beradaptasi dengan kebutuhan siswa.
Guru juga mencatat bahwa perilaku ini sering terjadi secara berulang tanpa adanya kesadaran yang jelas mengenai dampaknya. Hal ini tidak hanya menyebabkan ketidaknyamanan bagi teman-teman mereka, tetapi juga berisiko menimbulkan citra negatif terhadap peserta didik yang bersangkutan.
D. Kolaborasi dengan Guru Pendamping Khusus dan Orang Tua
Pendidikan inklusif tidak dapat berhasil tanpa adanya kolaborasi yang erat antara guru kelas, guru pendamping khusus (GPK), dan orang tua siswa. Mulyani dan Priyono (2021) menekankan bahwa peran GPK dalam memberikan dukungan kepada guru kelas sangat krusial, terutama dalam merancang dan melaksanakan intervensi perilaku.
Komunikasi antara guru dan orang tua juga perlu dibangun secara rutin agar intervensi yang dilakukan di sekolah dapat diperkuat di rumah. Diskusi berkala mengenai perkembangan siswa, kendala yang dihadapi, serta strategi bersama akan menciptakan pendekatan yang konsisten dan menyeluruh.
E. Pembelajaran Individual dan Adaptif
Dalam mengelola perilaku anak berkebutuhan khusus, pembelajaran perlu disesuaikan dengan kebutuhan individu. Hal ini mencakup penyesuaian materi, metode, waktu, dan media pembelajaran. Hasanah (2022) menyebutkan bahwa modifikasi kurikulum dan strategi pembelajaran yang fleksibel terbukti efektif meningkatkan partisipasi dan keterlibatan siswa dengan hambatan perilaku.
Guru juga dituntut untuk kreatif dalam menciptakan aktivitas pembelajaran yang dapat merangsang keterlibatan aktif siswa, menghindari kebosanan, dan menurunkan kemungkinan perilaku negatif. Selain itu, dokumentasi perkembangan siswa juga diperlukan untuk memantau efektivitas strategi yang diterapkan.
III. Kesimpulan
Berdasarkan kajian dari lima jurnal, dapat disimpulkan bahwa peran guru dalam mengelola perilaku anak dengan hambatan emosi dan perilaku di kelas inklusif sangatlah penting dan kompleks. Guru tidak hanya bertugas menyampaikan materi pembelajaran, tetapi juga menjadi fasilitator, pengelola perilaku, serta pendukung perkembangan sosial-emosional siswa.
Keberhasilan pengelolaan perilaku anak dengan hambatan emosi dan perilaku ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain: kemampuan guru dalam melakukan identifikasi awal, penerapan strategi penguatan positif, kemampuan regulasi emosi guru, kolaborasi dengan GPK dan orang tua, serta pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Seluruh komponen ini harus berjalan secara terintegrasi dan konsisten agar tercipta suasana kelas inklusif yang kondusif dan mendukung semua peserta didik untuk berkembang secara optimal.
Ke depan, peningkatan kapasitas guru melalui pelatihan, pendampingan, serta penyediaan sumber daya yang memadai sangat diperlukan untuk mendukung pelaksanaan pendidikan inklusif secara efektif dan berkelanjutan.
IV. Daftar Pustaka
A. A. (2024). Peranan Guru Dalam Penanganan Perilaku Anak ADHD-ADD Dalam Proses Pembelajaran. 3 Nomor 2 April (2024), 115-123.
D. K. (2021). Strategi Penanganan Hambatan Perilaku Dan Emosi Pada Anak. 34-32. M. F. (2020). Peran Guru Dalam Mengelola Kelas Inklusif Anak Berkebutuhan Khusus di SDK STA. Maria Assumpta Kota Kupang. 87-96.
Nurussama, A. (2019). Peran Guru Kelas Dalam Menangani Perilaku Bullying Pada Siswa. 115-123.
S. J. (2025). Identifikasi Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) Hambatan Emosional (Tunalaras) di Sekolah Dasar . 146.