Peran Guru dalam mengelola perilaku anak dengan Hambatan emosi dan perilaku di kelas inklusif
Muhammad Daffa P. R
2022015160
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Abstrak
Jika pendidikan dimaksudkan untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus, pendidikan inklusif sangat penting. Metode ini mempertimbangkan keragaman karakteristik siswa dan berusaha mengatasi perbedaan tersebut tanpa mengganggu siswa lain. Dalam kenyataannya, diharapkan bahwa perbedaan karakteristik siswa akan membentuk pembelajaran yang berbeda dan memberikan nilai tambahan kepada setiap siswa. Menurut Howard dan Orlansky (1988) dan Sunardi (1996), anak-anak dengan keterbatasan memiliki kecerdasan. Mereka mungkin tidak memiliki kemampuan untuk memperoleh keterampilan baru atau beradaptasi dengan situasi baru. Selain itu, mereka mungkin menghadapi kesulitan dalam menggunakan pemikiran kritis, menghindari kesalahan, berpikir abstrak, dan belajar. Berdasarkan informasi ini, penulis menyadari bahwa anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak-anak yang mengalami tunagrahita, memiliki hak yang sama seperti orang lain.
Pendahuluan
Anak berkebutuhan khusus, juga dikenal sebagai anak luar biasa, adalah anak yang berbeda dari anak-anak lainnya dan membutuhkan perawatan dan pendidikan khusus.
mengembangkan sepenuhnya potensi kemanusiaan mereka (Hallahan, 2003). Anak anak yang memiliki kebutuhan khusus ini tidak memiliki karakteristik perkembangan mental atau fisik yang sama dengan anak seusianya. Meskipun berbeda, ada juga anak-anak berkebutuhan khusus yang menunjukkan kesulitan fisik, emosi, atau mental saat berada di lingkungan sosial. Beberapa jenis anak berkebutuhan khusus yang sering kita temui termasuk
tunanetra, tunarungu, tunadaksa, tunalaras, tunagrahita, autis, down sindrom, dan retradasi mental.
Menurut psikologis humanistik, pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus pada hakikatnya merupakan tindakan kemanusiaan yang harus dilakukan untuk memaksimalkan potensi manusia dan meningkatkan harkat dan martabat manusia. Dari perspektif pendidikan, penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus adalah upaya untuk memaksimalkan potensi mereka. Berkebutuhan khusus adalah tanggung jawab bersama pemerintah daerah, pemerinta, wali, dan yayasan pendidikan. Mengingat kondisi saat ini, adalah wajar bagi pendidik, orang tua, dan masyarakat umum untuk memprioritaskan anak berkebutuhan khusus. Ini dilakukan untuk menghindari pandangan bahwa anak-anak berkebutuhan khusus adalah orang yang lemah dan tidak berhak atas layanan pendidikan (Simamora et al., 2022). Pendidikan anak berkebutuhan khusus saat ini menghadapi banyak tantangan dan masalah. Beberapa di antaranya adalah pemahaman dan persepsi yang tidak merata tentang pendidikan inklusif, kurangnya pengetahuan dan kemampuan guru dalam mengajar anak berkebutuhan khusus, dan sarana dan lingkungan sekolah yang belum sepenuhnya ramah bagi anak berkebutuhan khusus.
Dengan demikian, upaya yang sistematis diperlukan untuk membudayakan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus. Guru sangat penting dalam membantu siswa tumbuh untuk hidup yang sempurna. Ini adalah kenyataan karena manusia sejak lahir dan terus menjadi makhluk yang lemah. Itu menunjukkan bahwa setiap orang membutuhkan bantuan orang lain untuk berkembang, dan demikianlah halnya dengan peserta didik. Peran, menurut Wexley (2005), adalah cara seseorang diharapkan bertindak dalam posisi tertentu dalam organisasi atau kelompok. Tugas dan pekerjaan juga menentukan peran. Guru dengan orang yang mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi siswa dalam pendidikan usia dini yang tidak normal, pendidikan dasar (SD), dan pendidikan menengah. Seperti yang dinyatakan oleh Mulyasa (dalam Surahman S dan Mukminan, 2017), Sebagai pendidik, guru harus dapat menjadi contoh yang baik bagi siswa dengan menjadi rendah hati, bertanggunjawab, disiplin, dan berkepribadian yang baik. Manizar E (2015) menyatakan bahwa guru dapat mendorong siswa untuk meningkatkan motivasi mereka dan mengembangkan kegiatan belajar mereka (Ramadhan, Rusdiana, dkk., 2021).
Hasil dan Pembahasan
Anak-anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang mengalami kelainan fisik, mental, emosi, atau sosial. Akibatnya, mereka sangat membutuhkan pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan berbagai kelainan dan penyimpangan mereka (Anggrainini, 2013). Anak berkebutuhan khusus membutuhkan pelayanan pendidikan secara khusus, sehingga mereka dapat mengembangkan berbagai potensinya secara optimal baik secara emosi dan mental mereka. Anak berkebutuhan khusus didefenisikan sebagai anak yang memiliki distabilitas intelektual dan pengembangan, distabilitas fisik, distabilitas sensori, hambatan atau masalah perilaku, kesulitan belajar, serta cerdas dan bakat istimewa (Aziz, 2014). Anak yang membutuhkan bantuan khusus untuk menjalani kehidupannya dapat dimaknai sebagai anak berkebutuhan khusus. Anak-anak yang dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus termasuk anak-anak yang mengalami masalah dalam perkembangan intelegensi, inderawi, dan anggota gerak. Anak-anak dengan kebutuhan khusus tidak sama dengan anak-anak lainnya. Menurut Nisa (2018), kekurangan dan kelebihan dapat digunakan untuk membedakan anak berkebutuhan khusus dari anak normal. Pemberian layanan pendidikan pada anak berkebutuhan khusus memerlukan strategi yang tepat. Guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran anak perlu memberikan layanan terbaik guna mengoptimalkan bakat yang mereka miliki sehingga mereka mampu mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Guru dapat melakukan identifikasi terhadap permasalahan anak dan perumusan langkah dalam penanganaan permasalahan anak. Proses identifikasi kepada anak sebisa mungkin dilakukan dengan sebenar-benarnya. Menurut Blanchford et al. (2009), guru pendidikan khusus menjalankan dua tugas: pedagogik dan nonpedagogik. Bertanggung jawab atas pengajaran, perencanaan pembelajaran, memberikan instruksi, menyusun kurikulum alternatif, menyiapkan program intervensi, dan membuat atau mengubah konten dan materi pelajaran untuk menyesuaikan tugas-tugas untuk siswa dengan disabilitas adalah peran pedagogik yang dilakukan (Webster & Blatchford, 2011). Peran non-pedagogik meliputi administrasi, dukungan emosional, mendorong kemandirian, dan menumbuhkan kepercayaan diri peserta didik (Webster & Blatchford, 2011). Hasil pembelajaran siswa disabilitas dapat dipengaruhi oleh keanekaragaman peran guru pendidikan khusus (Blatchford et al., 2009). Ada dua jenis pengaruh: yang pertama meningkatkan hasil pembelajaran siswa disabilitas (Giangreco, Broer, & Edelman, 2001), yang kedua menyebabkan kesalahan pengambilan keputusan, peningkatan ketergantungan, dan hubungan sosial yang buruk dengan teman sebaya (Hall & McGregor, 2000). Gusniarti dan Lasarie (2009) menyatakan bahwa fenomena penerapan inklusi adalah bahwa guru memiliki dua pilihan saat menerapkan program pendidikan inklusi di sekolah: apakah mereka akan menerima atau tidak implementasi program.
inklusi atau menolak pendidikan tersebut untuk diterapkan. Wrastari dan Elisa (2013) menyatakan bahwa sikap guru terhadap pendidikan inklusi adalah gambaran yang baik atau buruk dari komitmen guru untuk mendidik anak berkebutuhan khusus, yang merupakan tanggung jawab mereka, dan juga menggambarkan sejauh mana anak berkebutuhan khusus diterima di sekolah. Namun, sikap guru terhadap inklusi, menurut Mahat (2018), adalah reaksi guru secara kognitif, afektif, dan konatif terhadap pendidikan inklusi, yang mencakup aspek fisik, sosial, dan kurikulum. Adapun contoh dan penjelasan saya ambil 3 contoh yakni. Tunalaras (Hambatan Emosi dan Perilaku). istilah yang gunakan untuk menggambarkan anak dengan hambatan emosi dan perilaku, di antaranya: gangguan emosional, gangguan perilaku, konflik emosional, cacat sosial, cacat pribadi, gangguan sosial, dan banyak lainnya. Keragaman definisi dan istilah ini diperparah oleh variabilitas yang ditandai dalam definisi orang tentang perilaku "normal". Slow Learner (Lambat Belajar) Menurut Oxford: Advanced Learner’s Dictionary, istilah "slow learner", juga dikenal sebagai "belajar lambat", berasal dari dua kata: "slow" dan "learner." Istilah "slow" mengandung arti "tidak cerdas: tidak cepat untuk belajar: menemukan hal-hal yang sulit dipahami." Sedangkan "belajar lambat" mengandung arti "seseorang yang menemukan tentang subjek atau cara Jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, siswa yang lambat adalah siswa yang tidak pandai dan kurang cepat memahami pelajaran. Menurut Burt (1997) dalam Bala dan Rao (2004: 119), siswa yang tidak mampu bekerja sesuai dengan kelompok usianya disebut sebagai "backward" atau "slow learner.
ADHD ( Attention Deficit Hyperactivity Disorder ) Anak-anak dengan ADHD adalah salah satu jenis anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan pendidikan khusus. Anak-anak dengan ADHD terlihat sama dengan anak-anak normal, sehingga orang awam dan bahkan guru terkadang menganggap mereka bodoh dan nakal. Dengan asumsi ini, anak dengan ADHD tidak menerima pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan tentang istilah anak ADHD untuk memberikan gambaran yang lebih baik tentang penyakit dan ciri-cirinya. Sangat penting bagi layanan Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus karena setiap anak memiliki kesempatan untuk mencapai kesejahteraan sosial dalam hidupnya, termasuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki keistimewaan dan berbeda dari anak normal. Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dimaksudkan untuk menghormati persamaan hak setiap anak, sehingga setiap anak dapat mendapatkan pendidikan tanpa membedakan usia, gender, etnik, jenis kelamin, bahasa, atau keadaan fisik (Hidayati & Warmansyah, 2021). Pembelajaran anak berkebutuhan khusus dilakukan bersama anak lain. Guru akan memberikan pendampingan tambahan jika anak menghadapi kesulitan. Guru akan memberikan pendampingan sesuai dengan kebutuhan anak selama proses pembelajaran. Guru membantu anak dengan autis ringan dengan memberikan penjelasan yang berulang saat menjelaskan materi, mengajak anak berkomunikasi secara intens untuk melatih fokus anak, membimbingnya dalam berbicara dan mengenalkan berbagai kosa kata karena anak mengalami gangguan bicara, membantu dalam memahami berperinta, dan memberikan pembetulan jika anak mengalami kesalahan dalam mengucapkan kata dan kalimat.. Selain itu, guru memberikan pembetulan jika anak mengalami kesalahan dalam mengucapkan kata dan kalimat. Media yang digunakan dalam pembelajaran objek adalah dengan menggunakan balok yang memiliki warna yang berbeda – beda. Dan ada angkanya. Sehingga ia dapat mengenal angka dan juga warna.Kita harus tahu bahwa peran guru kelas dan guru pendamping khusus berbeda, karena ketika guru kelas menyampaikan pelajaran secara umum, kita tetap melayani semuanya. Anak autis biasanya memiliki kurikulum atau tujuan yang berbeda, dan mereka lebih fokus pada perilaku dan tahapan perilakunya. Ini karena gabisa secara kognitif diteken dari yang paling dasar hingga yang paling dasar mengenal huruf.
Kesimpulan
Anak-anak berkebutuhan khusus adalah individu yang mengalami hambatan dalam aspek fisik, mental, emosional, atau sosial, yang membutuhkan pelayanan pendidikan khusus agar mereka dapat mengembangkan potensi secara optimal. Mereka termasuk anak dengan hambatan intelektual, fisik, sensori, perilaku, kesulitan belajar, hingga yang memiliki kecerdasan atau bakat istimewa. Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus tidak hanya bertujuan memberikan akses belajar, tetapi juga menghormati hak setiap anak untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi. Guru memiliki peran penting dalam memberikan layanan pendidikan, baik secara pedagogik (pengajaran, kurikulum, intervensi) maupun non-pedagogik (dukungan emosional, (Dona Liza, 2024) (Alfensiana Ayuti Ratna Ndasi, 2023) (Nopa Wilyanita, 2023)diri).Sikap guru terhadap pendidikan inklusif sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasinya. Guru dituntut untuk memiliki strategi dan pendekatan yang tepat dalam menangani keberagaman karakteristik anak, seperti Tunalaras, Slow Learner, dan ADHD. Setiap anak membutuhkan pendekatan yang spesifik, serta media dan metode yang sesuai dengan kebutuhannya. Pentingnya peran guru kelas dan guru pendamping khusus juga perlu dipahami. Guru kelas menyampaikan materi secara umum, sedangkan guru pendamping memberikan pendampingan individual yang berfokus pada kebutuhan dan perkembangan perilaku anak. Dengan pendekatan yang inklusif dan penuh empati, anak-anak berkebutuhan khusus dapat berkembang secara optimal dan meraih kualitas hidup yang lebih baik.
Referensi
Alfensiana Ayuti Ratna Ndasi, M. I. (2023). Peran Guru dalam Memberikan Layanan Pendidikan Bagi anak Berkebutuhan Khusus Di Sekolah Dasar. JURNAL PENDIDIKAN INKLUSI, 2998-7852.
Dona Liza, L. M. (2024). Peran Guru dan Orang Tua dalam Melaksanakan Pendidikan Inklusi Untuk ABK (Anak Berkebutuhan Khusus ) di Sekolah. Jurnal Ilmu Sosial, Pendidikan dan Humaniora, 59-68.
Indarto, A. F. (2023). Kendala Guru Dalam Mengelola Proses Pembelajaran Anak Autis: Studi Kasus MIM PK Kartasura. Jurnal Indonesian Journal of Sport Science and Technology, 197-209.
Kurniawati, N. A. (2021). Studi Literatur: Peran Guru Pendidikan Khusus di Sekolah Inklusi. Jurnal Hasil Penelitian dan Kajian Kepustakaan di Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Pembelajaran, 361-371.
Nopa Wilyanita, S. H. (2023). Efektifitas Peran Guru dalam Pendamping (Shadow Teacher) Anak Hiperaktif Dalam Proses Pembelajaran . Jurnal Pendidikan dan Konseling, 2685- 9351.