Peran Guru Dan Orang Tua Dalam Melaksanakan Pendidikan Inklusif Untuk ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) Di Sekolah
Lentia Ananda
Program studi Pendidikan guru sekolah dasar universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Email lentiaanandasosial@gmail.com
Abstract The purpose of this study is to understand how teachers and parents play a role in organizing education for Children with Special Needs (ABK) in the school environment. This study uses a qualitative descriptive approach with data collection techniques in the form of observation and interviews. The subjects or informants of the study include the principal, class teachers/homeroom teachers, and parents of students. This study emphasizes the importance of collaboration between parents and teachers in forming and improving the quality of inclusive education. The results of the study show several main points: (1) In the context of inclusive education, the role of the principal as the highest decision maker has a significant influence on the direction and goals of the institution. (2) There are various obstacles in the management of inclusive education at SDN Talang Pantai from the beginning of its implementation until now. Class teachers/homeroom teachers play a crucial role in the learning process, including providing motivation at the beginning of teaching and learning activities, paying more attention to ABK than other students, and guiding ABK during the learning process. (3) Efforts made by parents towards ABK include providing appropriate attention and guidance during inclusive education at school. The direct involvement of ABK parents is very important in every decision-making, from school placement to collaboration with the school.
Keywords: Role of Teachers and Parents, Inclusive Education, Children with Special Needs (ABK)
AbstractTujuan studi ini adalah untuk memahami bagaimana guru dan orang tua berperan dalam penyelenggaraan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di lingkungan sekolah. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi dan wawancara. Subjek atau informan penelitian meliputi kepala sekolah, guru kelas/wali kelas, dan orang tua siswa. Studi ini menekankan pentingnya kolaborasi antara orang tua dan guru dalam membentuk serta meningkatkan kualitas pendidikan inklusif. Hasil penelitian menunjukkan beberapa poin utama: (1) Dalam konteks pendidikan inklusi, peran kepala sekolah sebagai pengambil keputusan tertinggi memiliki pengaruh signifikan terhadap arah dan tujuan institusi. (2) Terdapat berbagai kendala dalam pengelolaan pendidikan inklusi di SDN Talang Pantai sejak awal implementasinya hingga saat ini. Guru kelas/wali kelas memainkan peran krusial dalam proses pembelajaran, termasuk memberikan motivasi di awal kegiatan belajar mengajar, memberikan perhatian lebih kepada ABK dibandingkan siswa lainnya, serta membimbing ABK selama pembelajaran berlangsung. (3) Upaya yang dilakukan orang tua terhadap ABK meliputi pemberian perhatian dan bimbingan yang sesuai selama pendidikan inklusif di sekolah. Keterlibatan langsung orang tua ABK sangat penting dalam setiap pengambilan keputusan, mulai dari penempatan sekolah hingga kolaborasi dengan pihak sekolah.
Kata Kunci : Peran Guru dan Orang Tua, Pendidikan Inklusif, Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Pendahuluan
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merujuk pada individu yang memiliki ciri khas yang berbeda dari apa yang umumnya dianggap normal oleh masyarakat. Mereka menunjukkan karakteristik fisik, intelektual, dan emosional yang secara signifikan berada di bawah atau di atas rata-rata anak seusia mereka, atau di luar batasan normal yang diterima dalam masyarakat. Perbedaan ini dapat menyebabkan mereka menghadapi hambatan dalam mencapai keberhasilan di bidang sosial, personal, maupun pendidikan.
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak yang menunjukkan perbedaan atau penyimpangan yang signifikan dalam perkembangan dan pertumbuhannya (meliputi aspek fisik, mental-intelektual, sosial, dan emosional) dibandingkan dengan anak seusianya, sehingga memerlukan layanan pendidikan khusus (Erawati dkk., 2016). Dengan kata lain, ABK adalah anak yang mengalami kelainan atau perbedaan dari anak-anak pada umumnya. Dalam proses tumbuh kembangnya, mereka memiliki karakteristik yang beragam sesuai dengan jenis kelainan yang dialaminya, baik itu kelainan fisik, intelektual, mental, sosial, maupun emosional.
Pasal 31 Ayat 1 UUD menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak atas pendidikan tanpa batasan. Oleh karena itu, pemerintah memegang peranan penting dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan terkait pendidikan demi kesejahteraan seluruh warga negara. Sejalan dengan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 32 Ayat (1) tentang Sistem Pendidikan Nasional mendefinisikan pendidikan khusus sebagai pendidikan bagi peserta didik yang mengalami kesulitan belajar akibat kelainan fisik, emosional, mental, sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Istilah pendidikan khusus ini sesuai dengan undang-undang tersebut. Pendidikan inklusi membawa perubahan fundamental dalam dunia pendidikan, yaitu pergeseran paradigma dari pendidikan umum menjadi pendidikan yang berfokus pada kebutuhan khusus. Perubahan ini mencakup peningkatan kesadaran dan kesiapan para perencana serta praktisi pendidikan, perubahan kondisi, metodologi, dan penggunaan konsep-konsep terkait, seperti Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) atau Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK).
Pendidikan inklusi adalah sistem pendidikan yang menyatukan seluruh siswa dengan beragam latar belakang, termasuk anak-anak dengan maupun tanpa hambatan, perbedaan suku, bahasa, budaya, dan lain-lain. Tujuannya adalah agar semua siswa dapat berpartisipasi aktif dalam proses belajar di kelas tanpa diskriminasi, mencari solusi bersama, dan memanfaatkan fasilitas belajar yang disediakan untuk mencapai keberhasilan belajar (Septy Nurfadhillah, 2022). Sejalan dengan Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No. 380 Tahun 2003, pendidikan inklusi melibatkan anak-anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama anak-anak lainnya tanpa adanya pembedaan. Dalam pendidikan inklusi, Anak Berkebutuhan Khusus memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan anak-anak pada umumnya, baik dalam hal pendidikan maupun kesempatan yang diperoleh (Fitria, 2012).
Pendidikan merupakan kebutuhan mendasar yang krusial bagi manusia. Melalui pendidikan, kita dapat mempermudah interaksi dan saling membantu sesama, terutama sesama manusia. Pengetahuan memungkinkan kita membangun komunikasi dengan lingkungan sekitar, yang kemudian memunculkan ide, gagasan, dan kesadaran. Oleh karena itu, negara memiliki tanggung jawab untuk memberikan kesempatan pendidikan berkualitas kepada seluruh warga negara tanpa terkecuali, termasuk individu dengan kemampuan khusus.
Penyelenggaraan sistem sekolah inklusi adalah prasyarat penting untuk mewujudkan masyarakat inklusif, yaitu tatanan masyarakat yang saling menghormati dan menghargai keberagaman sebagai bagian dari kehidupan. Namun, berbagai permasalahan muncul dalam implementasi pendidikan inklusi. Keterbatasan pengetahuan dan keterampilan guru di sekolah inklusi menunjukkan bahwa sistem ini belum dipersiapkan secara optimal. Idealnya, sekolah inklusi bagi anak berkebutuhan khusus seharusnya menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, nyaman, dan menyenangkan bagi semua siswa.
Guru memegang peranan krusial dalam memfasilitasi perkembangan peserta didik agar dapat mencapai tujuan hidup mereka secara maksimal. Minat, bakat, kemampuan, dan potensi siswa tidak akan berkembang optimal tanpa bimbingan dari guru. Dalam hal ini, guru perlu memberikan perhatian individual kepada setiap siswa, mengingat adanya perbedaan mendasar di antara mereka.
Untuk memenuhi tuntutan profesinya, seorang guru harus mampu memaknai pembelajaran sebagai wadah untuk membentuk kompetensi dan meningkatkan kualitas pribadi siswa. Peran guru dalam pendidikan sangat beragam dan signifikan, meliputi: pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasihat, inovator, model dan teladan, pribadi, peneliti, pendorong kreativitas, aktor (dalam penyampaian), emansipator (pembebas potensi), evaluator, dan kulminator (puncak dari proses pembelajaran).
Peran orang tua memegang kunci penting dalam keberhasilan atau kegagalan pendidikan anak, terutama bagi orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Dalam hal ini, mereka memiliki peran yang sangat signifikan dalam memfasilitasi dan mendukung proses pendidikan anak-anak mereka. Oleh karena itu, pemahaman tentang fungsi dan peran orang tua dalam pendidikan inklusi, khususnya dalam konteks keterlibatan mereka di sekolah inklusif, menjadi sangat penting.
Orang tua adalah pihak yang bertanggung jawab utama atas pendidikan anak-anak mereka, baik di lingkungan formal, informal, maupun nonformal. Keterlibatan orang tua dalam pendidikan memberikan dampak besar terhadap perkembangan anak, terutama bagi anak berkebutuhan khusus, di mana orang tua berperan dalam mendukung dan memfasilitasi proses pendidikan tersebut. Orang tua perlu memahami nilai-nilai inklusif seperti kesetaraan, keadilan, keberagaman, kolaborasi, dan penerimaan terhadap kebutuhan khusus setiap siswa agar proses pendidikan dan pembelajaran dapat berjalan dengan baik. Pandangan positif orang tua terhadap nilai-nilai inklusi ini dapat membantu memfasilitasi kebutuhan belajar dan pencapaian prestasi belajar anak mereka.
Secara garis besar, terdapat lima peran utama orang tua dalam pendidikan inklusi: Pertama, membimbing pendidikan anak. Kedua, memberikan dukungan dalam pelaksanaan pendidikan. Ketiga, memberikan akses bagi anak untuk berinteraksi dalam lingkungan yang lebih umum. Keempat, membantu memberikan pemahaman tentang proses perkembangan anak dalam pendidikan. Kelima, terlibat aktif dalam proses belajar mengajar anak guna memberikan dukungan yang efektif bagi pembelajaran dan pengembangan anak.
Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sebagaimana dijelaskan oleh Moleong (2017:6), penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami secara mendalam fenomena yang dialami oleh subjek penelitian, seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara menyeluruh dan menyajikannya dalam bentuk deskripsi verbal dan bahasa dalam konteks alami yang spesifik, dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.
Dalam studi ini, peneliti mengumpulkan data deskriptif melalui informasi yang diperoleh dari partisipan penelitian, yang selanjutnya disebut informan atau responden. Pengumpulan data dilakukan menggunakan berbagai instrumen seperti observasi (pengamatan), wawancara (interview), dokumentasi, dan metode lainnya. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan peran guru dan orang tua dalam pendidikan inklusi bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di SDN Talang Pantai.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi observasi (pengamatan), wawancara (interview), dan dokumentasi. Analisis data dilakukan mengikuti model Sugiyono (2018:482), yang melibatkan proses sistematis dalam mencari dan menyusun data yang diperoleh dari wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi. Langkah-langkahnya meliputi mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesis, menyusun pola, memilih data yang relevan dan penting untuk dipelajari, serta membuat kesimpulan yang mudah dipahami.
Teknik analisis data yang digunakan adalah:
Reduksi data: Setelah wawancara dengan informan, data disaring untuk menghilangkan informasi yang kurang relevan.
Penyajian data: Data yang telah direduksi disajikan secara sistematis.
Penarikan kesimpulan: Berdasarkan penyajian data, ditarik kesimpulan mengenai informasi penting yang diperoleh dari informan.
Untuk memastikan keabsahan informasi penelitian (Creswell, 2007), digunakan teknik pengecekan mutu informasi yang berfokus pada upaya peneliti dalam memperoleh dan menganalisis data. Salah satu teknik yang digunakan untuk mencapai keabsahan atau integritas informasi adalah triangulasi. Triangulasi merupakan metode pengujian integritas data melalui pengecekan informasi dari berbagai teknik, sumber, dan waktu pengumpulan data. Dalam penelitian ini, digunakan triangulasi metode, yaitu menguji integritas data dengan cara membandingkan informasi dari sumber yang sama menggunakan metode pengumpulan data yang berbeda.
PEMBAHASAN
Gusniarti dan Lasarie (2009) mengidentifikasi bahwa implementasi pendidikan inklusi di sekolah memunculkan dua respons yang berlawanan di kalangan guru: penerimaan atau penolakan terhadap program tersebut. Wrastari dan Elisa (2013) menjelaskan bahwa sikap guru terhadap pendidikan inklusi mencerminkan pandangan positif atau negatif mereka terhadap komitmen untuk mengembangkan anak berkebutuhan khusus yang menjadi tanggung jawab mereka, serta sejauh mana anak-anak tersebut diterima di lingkungan sekolah. Sementara itu, Mahat (2018) mendefinisikan sikap guru terhadap inklusi sebagai respons kognitif, afektif, dan konatif guru terhadap pendidikan inklusi, yang meliputi aspek fisik, sosial, dan kurikulum.
Oleh karena itu, guru dan orang tua memiliki tanggung jawab bersama untuk bekerja sama dalam menyampaikan informasi terkait perkembangan, keterampilan, motivasi, perhatian yang diberikan, penerimaan sosial, serta penyesuaian emosional anak atau peserta didik. Kolaborasi yang erat antara guru sebagai pembimbing di sekolah dan orang tua sebagai pembimbing di rumah sangat penting dalam membimbing anak-anak yang bersekolah di lingkungan inklusi.
Peran orang tua dalam pendidikan inklusi memiliki dampak yang signifikan karena merekalah yang paling memahami anak, termasuk karakteristik, kebiasaan, dan kebutuhannya. Pengetahuan mendalam yang dimiliki orang tua tentang anak mereka dapat diinformasikan kepada pihak sekolah, sehingga guru dan pihak sekolah dapat menyediakan fasilitas atau menyusun program yang sesuai dan relevan dengan kebutuhan anak. Berdasarkan wawancara dengan guru inklusi dan orang tua siswa di SDN Talang Pantai, terdapat sekitar 5 anak inklusi dengan 3 tipe yang berbeda di sekolah tersebut.
Tunalaras (Hambatan Emosi dan Perilaku):
Definisi universal mengenai hambatan emosi atau perilaku masih menjadi perdebatan (Kauffman & Landrum, 2013). Ketidaksepakatan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk perbedaan model teoretis (seperti psikodinamik, biofisik, perilaku), fakta bahwa perilaku tidak tepat adalah hal yang wajar pada anak dan remaja dalam situasi dan waktu yang berbeda, kesulitan dalam mengukur emosi dan perilaku, serta perbedaan lintas budaya mengenai perilaku yang dapat diterima. Akibatnya, beragam istilah digunakan untuk menggambarkan anak dengan hambatan emosi dan perilaku, seperti gangguan emosional, gangguan perilaku, konflik emosional, disabilitas sosial, disabilitas personal, gangguan sosial, dan lain-lain. Keragaman definisi dan istilah ini diperсложняется oleh perbedaan persepsi individu mengenai perilaku "normal".
Tanpa intervensi yang efektif, individu dengan hambatan emosi dan perilaku berpotensi mengalami hasil negatif. Jika tidak ditangani, siswa dengan kondisi ini memiliki risiko tinggi mengalami kegagalan akademik, putus sekolah, masalah hukum, dan pengangguran jangka panjang (Wagner, Kutash, Duchnowski, Epstein, & Carl Sumi, 2005).
Slow Learner (Lambat Belajar):
Menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary, istilah "slow learner" terdiri dari kata "slow" yang berarti tidak cerdas, tidak cepat belajar, dan kesulitan memahami sesuatu, serta "learner" yang berarti seseorang yang sedang mempelajari suatu subjek atau cara melakukan sesuatu, yang dapat dikategorikan sebagai pembelajar lambat atau cepat. Dengan demikian, "slow learner" dalam Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai pembelajar yang tidak cepat tanggap dan kurang mahir dalam memahami pelajaran, serta tidak mampu mengikuti tempo belajar kelompok usia mereka.
ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder):
Zaviera (2009) dalam Mirnawati (2019) menjelaskan bahwa ADHD adalah singkatan dari Attention Deficit Hyperactivity Disorder, yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH). Sebelumnya dikenal pula istilah ADD (Attention Deficit Disorder), yang berfokus pada gangguan pemusatan perhatian. Istilah ADHD semakin sering dibahas dalam dunia medis, pendidikan, dan psikologi.
Anak dengan ADHD termasuk dalam kategori anak berkebutuhan khusus yang memerlukan layanan pendidikan khusus. Secara fisik, mereka seringkali terlihat seperti anak normal lainnya, sehingga masyarakat awam, bahkan terkadang guru, keliru menganggap mereka sebagai anak nakal atau kurang pintar. Kesalahpahaman ini dapat mengakibatkan anak ADHD tidak mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya. Oleh karena itu, pemahaman yang lebih mendalam mengenai konsep ADHD sangat diperlukan untuk menggambarkan kondisi dan karakteristik anak-anak ini secara lebih jelas.
ADHD dapat bermanifestasi dalam berbagai cara. Beberapa siswa menunjukkan masalah utama dalam kurangnya perhatian, kesulitan berkonsentrasi pada tugas, mudah lupa, dan gampang terdistraksi. Sementara itu, siswa dengan gangguan hiperaktif-impulsif cenderung terus bergerak, berpindah dari satu aktivitas ke aktivitas lain, serta kesulitan untuk duduk diam atau bermain dengan tenang. Anak-anak ini juga mengalami kesulitan dalam memprioritaskan kegiatan, yang dapat mengganggu kepribadian dan lingkungan sekitar mereka. Dalam gejala hiperaktivitas, anak menunjukkan aktivitas motorik yang berlebihan di atas rata-rata anak seusianya, tampak bergerak tanpa lelah dan tujuan yang jelas, serta sangat sulit untuk ditenangkan (Wahidah 2018:300–301).
Berdasarkan wawancara dengan Kepala Sekolah, dalam konteks pendidikan inklusi, peran kepala sekolah sebagai pemegang keputusan tertinggi sangat mempengaruhi arah dan tujuan lembaga. Kepala sekolah memiliki pengaruh besar terhadap peraturan sekolah dan selalu memantau perkembangan setiap peserta didik.
Dalam mendidik Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), penanaman kedisiplinan, baik di sekolah maupun di rumah, memegang peranan penting. Kedisiplinan ini memiliki berbagai bentuk, salah satunya adalah disiplin waktu yang diterapkan oleh pengajar, contohnya dengan datang ke sekolah tepat waktu. Sebagai contoh, salah satu tantangan yang dihadapi anak dengan ADHD adalah kurangnya fokus saat mengikuti proses belajar mengajar di kelas. Ketika mereka terdistraksi oleh teman, mereka mungkin akan menangis. Untuk mengatasi hal ini, pengajar perlu memberikan perhatian dan bimbingan ekstra agar siswa tersebut tidak terhambat dalam pembelajaran di kelas.
Berdasarkan wawancara dengan orang tua murid, beberapa peran orang tua dalam pendidikan anak adalah: Pertama, dalam mengembangkan bakat anak, orang tua perlu mengidentifikasi bakat anak terlebih dahulu, misalnya jika anak lebih menonjol dalam matematika. Kemudian, orang tua mendukung dan melatih anak agar bakatnya semakin berkembang. Kedua, dalam melatih kedisiplinan, orang tua mengajarkan hal-hal positif sederhana di rumah, seperti merapikan mainan setelah digunakan. Ketiga, ketika anak mengalami kesulitan belajar, orang tua membantu dan mengajari anak, serta memberikan les privat jika diperlukan. Keempat, pola pendidikan ideal yang diterapkan orang tua mencakup bidang matematika, menggambar, mewarnai, dan olahraga. Kelima, dalam mengatasi kendala anak, misalnya ketika anak merasa bingung dan enggan menulis karena banyaknya tulisan, orang tua memberikan bantuan dan motivasi agar anak mau menulis.
KESIMPULAN
Guru dalam pendidikan inklusi mengajarkan nilai-nilai kejujuran dan kedisiplinan. Terkait kejujuran, contohnya, pengajar memberikan pemahaman tentang pentingnya tidak menyontek dan menerapkan sanksi berupa penambahan soal bagi siswa inklusi yang melanggar. Sejalan dengan itu, peran orang tua adalah memberikan dukungan dan melatih anak belajar agar potensi mereka dapat berkembang lebih baik. Dengan demikian, kolaborasi antara orang tua dan guru sangat penting dalam memberikan informasi mengenai perkembangan, keterampilan, motivasi, perhatian, penerimaan sosial, serta penyesuaian emosional anak atau peserta didik di sekolah inklusi.
Guru memegang peranan yang sangat signifikan dalam membantu perkembangan peserta didik agar dapat mencapai tujuan hidup mereka secara optimal. Minat, bakat, kemampuan, dan potensi siswa tidak akan berkembang maksimal tanpa bimbingan guru. Oleh karena itu, guru perlu memberikan perhatian individual kepada setiap siswa, mengingat adanya perbedaan mendasar di antara mereka.
Hasil penelitian menunjukkan beberapa poin penting: (1) Dalam konteks pendidikan inklusi, kepemimpinan kepala sekolah sebagai pemegang keputusan tertinggi memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap arah dan tujuan yang ingin dicapai oleh institusi pendidikan. (2) Pengelolaan pendidikan inklusi di SDN 90/II Talang Pantai menghadapi berbagai kendala sejak awal implementasinya hingga saat ini. Guru kelas/wali kelas memainkan peran yang krusial dalam proses pembelajaran, termasuk memberikan motivasi di awal kegiatan belajar, memberikan perhatian lebih kepada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dibandingkan siswa lainnya, serta memberikan bimbingan kepada ABK selama pembelajaran berlangsung. (3) Orang tua ABK berupaya mendukung pendidikan inklusif anak mereka dengan memberikan perhatian dan bimbingan yang sesuai di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Liza, D., Marlina, L., Pratama, I. G., & Andriani, O. (2024). Peran Guru Dan Orang Tua Dalam Melaksanakan Pendidikan Inklusi Untuk ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) Di Sekolah. JISPENDIORA Jurnal Ilmu Sosial Pendidikan Dan Humaniora, 3(1), 59-68.
Lattu, D. (2018). Peran guru bimbingan dan konseling pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusi. Jurnal Bimbingan dan Konseling Terapan, 2(1), 61-67.
Nurfadhillah, S. (2022). Pendidikan Inklusi Sekolah Dasar. CV Jejak (Jejak Publisher).
Wahidah, E. Y. (2016). Identifikasi dan Psikoterapi terhadap ADHD. Al-Lubab: Jurnal Penelitian Pendidikan dan Keagamaan Islam, 2(2), 16-39.
Wardani, K., & Dwiningrum, S. I. (2021). Studi Kasus: Peran Orang Tua dalam Pendidikan Inklusi di Sekolah Dasar Seruma. Wacana Akademika: Majalah Ilmiah Kependidikan, 5(1), 69-75.
Wati, E. (2014). Manajemen pendidikan inklusi di sekolah dasar negeri 32 kota Banda Aceh. Jurnal Ilmiah Didaktika: Media Ilmiah Pendidikan dan Pengajaran, 14(2).