-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Peran Guru serta Orang Tua Untuk Menangani Siswa Berkebutuhan Khusus Dalam Pendidikan Inkslusif

Kamis, 10 April 2025 | April 10, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-04-11T06:19:13Z

Peran Guru serta Orang Tua Untuk Menangani Siswa Berkebutuhan Khusus Dalam Pendidikan Inkslusif


Diki Anzala Permadi 

Pendidikan Guru Sekolah Dasar,Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta, 55165

Email : dikianzalapermadi@gmail.com



Abstract


Abstract: Children with special needs face a range of challenges, including physical, mental, intellectual, and emotional difficulties, which require tailored support to navigate their daily lives effectively. Their limitations can sometimes create additional responsibilities for their parents, who must ensure that their children are nurtured in an environment conducive to their specific needs. Unfortunately, many parents mistakenly believe that their children will naturally develop the independence required to manage daily activities, leading to an oversight of their educational needs and potential, especially in light of their physical challenges. As a result, children with special needs may struggle to express their interests and creativity, often feeling constrained compared to their peers. Moreover, the support they receive from their social environment can significantly impact their development. Fortunately, inclusive education institutions are emerging to address this gap. In these settings, children with special needs learn alongside their typically developing peers, which fosters social interaction and helps them navigate their surroundings. However, it's important to recognize that the evaluation of learning outcomes in inclusive education differs from that of children without special needs. Within these inclusive classrooms, children with special needs participate in shared activities with their peers, promoting valuable social connections. Yet, students with learning disabilities may require additional assistance, such as repeated explanations of the lesson content, to grasp the material effectively. Many educators note that these students often engage meaningfully in the learning process, asking insightful questions that enhance their understanding. Unfortunately, societal attitudes toward disability can exacerbate challenges for these children. Many peer groups may deliberately distance themselves from students with disabilities, subjecting them to ridicule and exclusion. Such behavior is detrimental, adding unnecessary psychological stress to children who are already navigating their own limitations. This kind of ostracism can significantly hinder their emotional and social development, which no child should have to endure. It is essential to foster an environment of understanding and acceptance for all children, regardless of their abilities.



Abstrak : Anak-anak dengan kebutuhan khusus mengalami berbagai tantangan fisik, mental, intelektual, dan emosional, sehingga mereka memerlukan bantuan khusus untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari. Keterbatasan yang dialami oleh anak-anak ini sering kali menjadi beban bagi orang tua dalam menjalankan kewajiban mereka. Oleh karena itu, penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung serta pola asuh yang sesuai dengan kondisi anak-anak tersebut. Seringkali, orang tua beranggapan bahwa anak-anak mereka akan cukup mandiri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa memberikan perhatian yang cukup terhadap pendidikan dan potensi yang dapat dikembangkan meskipun ada keterbatasan fisik. Anak-anak dengan kebutuhan khusus sering kali tidak memiliki kebebasan untuk melakukan aktivitas yang mereka inginkan, serta minat dan kreativitas mereka tidak dapat tereksplorasi seperti anak-anak normal lainnya. Keterbatasan yang mereka miliki sering kali diperburuk oleh kondisi lingkungan yang tidak mendukung perkembangan sosial mereka. Untuk itu, lembaga pendidikan inklusif hadir sebagai solusi. Dalam pendidikan inklusif, anak-anak dengan kebutuhan khusus belajar bersama anak-anak normal, dengan pendekatan pengajaran yang memperhitungkan perbedaan kemampuan. Dalam konteks ini, penilaian hasil belajar tidak disamakan dengan anak-anak normal. Interaksi sosial di lingkungan inklusif dapat membantu anak-anak dengan kebutuhan khusus untuk memahami dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Namun, anak-anak yang menerima layanan pendidikan di luar sekolah biasa sering kali mengalami kesulitan karena mereka akan berinteraksi dengan teman-teman yang memiliki berbagai keterbatasan. Berbeda dengan di lingkungan pendidikan inklusif, di mana mereka kebanyakan bergaul dengan teman-teman yang tidak memiliki kekurangan. Beberapa siswa mungkin mengalami tantangan dalam proses pembelajaran, seperti anak-anak dengan kesulitan belajar. Menurut beberapa guru, siswa-siswa ini sering kali memerlukan perlakuan khusus, seperti menjelaskan materi berulang kali agar mereka dapat memahaminya. Di sisi lain, siswa yang diberikan layanan pendidikan yang tepat cenderung menunjukkan respons positif terhadap proses belajar, seperti mengajukan pertanyaan yang menunjang pemahaman mereka. Sayangnya, di zaman sekarang, banyak kelompok sebaya yang bahkan secara sengaja menjauh dari teman-teman yang memiliki disabilitas, seringkali berpikir untuk menertawakan mereka. Sikap semacam ini seharusnya dihindari, karena dapat menambah tekanan psikologis pada anak-anak dengan kebutuhan khusus. Pengucilan dari teman sebaya dapat memberikan dampak negatif terhadap perkembangan mereka, yang tentunya tidak diinginkan.



Kajian Teori


  1. Pendidikan Inklusif


Pendidikan inklusif adalah pendekatan dalam sistem pendidikan yang bertujuan untuk memfasilitasi semua anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus, dalam satu lingkungan belajar yang sama. Menurut UNESCO (2009), pendidikan inklusif berusaha memperkuat kemampuan sistem pendidikan agar dapat menjangkau semua peserta didik, khususnya mereka yang rentan terhadap marginalisasi dan eksklusi. Pendekatan ini menyoroti pentingnya menciptakan suasana belajar yang ramah, adaptif, dan mendukung perkembangan setiap peserta didik tanpa diskriminasi.


  1. Siswa Berkebutuhan Khusus


Siswa berkebutuhan khusus (SBK) adalah anak-anak yang mengalami tantangan dalam berbagai aspek, seperti fisik, intelektual, sosial, dan emosional, atau bahkan kombinasi dari semua faktor tersebut. Hal ini membuat mereka membutuhkan pendekatan pendidikan yang bersifat individual. Menurut Hallahan dan Kauffman (2006), untuk mendukung SBK dalam mencapai potensi terbaik mereka, penting untuk menyediakan layanan dan strategi pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak.


  1. Peran Guru dalam Pendidikan Inklusif


Orang tua memegang peran yang krusial sebagai mitra dalam mendukung pendidikan anak, terutama bagi siswa dengan kebutuhan khusus. Dalam teori ekologi perkembangan yang dikemukakan oleh Bronfenbrenner (1979), terdapat penekanan pada pentingnya lingkungan keluarga sebagai faktor yang memengaruhi proses belajar dan perkembangan anak. Keterlibatan orang tua tidak hanya membantu guru dalam memahami kebutuhan anak secara menyeluruh, tetapi juga memungkinkan mereka untuk berkontribusi aktif dalam perencanaan dan evaluasi pembelajaran.


  1. Peran Orang Tua dalam Pendidikan Inklusif


Guru memiliki peranan yang sangat penting dalam pendidikan inklusif. Mereka tidak hanya berfungsi sebagai penyampai materi, tetapi juga sebagai fasilitator dan mediator dalam proses pembelajaran yang mampu memenuhi kebutuhan beragam siswa. Menurut Friend dan Bursuck (2012), seorang guru inklusif harus memiliki kompetensi pedagogik yang memadai, empati yang tinggi, serta kemampuan untuk melakukan diferensiasi pembelajaran. Kerja sama yang erat antara guru kelas dan guru pendamping khusus (GPK) sangat penting, terutama dalam merancang program pembelajaran individual (PPI) untuk siswa berkebutuhan khusus.


  1. Kolaborasi Guru dan Orang Tua


Keberhasilan pendidikan inklusif sangat tergantung pada sinergi yang terjalin antara guru dan orang tua. Menurut Epstein (2001), kemitraan antara sekolah dan keluarga memberikan dampak positif terhadap pencapaian akademik serta perkembangan sosial siswa. Kolaborasi ini dapat terwujud melalui komunikasi yang efektif, penghargaan terhadap peran masing-masing, dan kerja sama dalam merancang strategi pembelajaran yang sesuai untuk mengakomodasi beragam kebutuhan siswa.




Pembahasan 


Gusniarti dan Lasarie (2009) menyatakan bahwa dalam penerapan pendidikan inklusi di sekolah, terdapat dua pilihan sikap yang dihadapi oleh para guru: menerima atau menolak implementasi pendidikan inklusi. Wrastari dan Elisa (2013) menambahkan bahwa sikap guru terhadap pendidikan inklusi dapat menggambarkan komitmen mereka, baik dalam bentuk positif maupun negatif, terhadap pengembangan anak berkebutuhan khusus yang menjadi tanggung jawab mereka. Sikap ini juga mencerminkan sejauh mana anak berkebutuhan khusus diterima di dalam lingkungan sekolah. Sementara itu, Mahat (2018) mendefinisikan sikap guru terhadap inklusi sebagai respon kognitif, afektif, dan konatif guru terhadap pendidikan inklusi, yang mencakup aspek fisik, sosial, dan kurikulum.


Dengan demikian, orang tua dan guru memiliki peran penting dalam berkolaborasi untuk memberikan informasi mengenai perkembangan, keterampilan, motivasi, perhatian, penerimaan sosial, serta penyesuaian emosional anak atau peserta didik. Oleh karena itu, kolaborasi antara guru dan orang tua sangat diperlukan dalam mendampingi dan membimbing perkembangan anak. Anak-anak yang bersekolah di lembaga inklusi memerlukan dukungan dari berbagai pihak. Di sekolah, guru berperan sebagai pembimbing, sementara di rumah, orang tua berperan sebagai pendamping utama mereka. Keterlibatan orang tua sangat penting dalam pendidikan inklusi, karena merekalah yang paling mengenal karakteristik, kebiasaan, dan kebutuhan anak mereka. Dengan pemahaman yang mendalam tentang anak, orang tua dapat memberikan informasi berharga kepada pihak sekolah, sehingga guru dapat merancang program yang sesuai dan relevan dengan kebutuhan anak-anak tersebut.

Berikut beberapa karakteristik anak berkebutuhan khusus diantaranya :


  1. Tunalaras (Hambatan Emosi dan Perilaku)


Hambatan emosi dan perilaku tidak memiliki definisi yang diakui secara universal. Ketidaksepakatan di antara para profesional muncul dari berbagai faktor, seperti beragam model teoretis (misalnya, psikodinamik, biofisik, perilaku), fakta bahwa semua anak dan remaja dapat berperilaku tidak sesuai pada waktu dan situasi tertentu, kesulitan dalam mengukur emosi dan perilaku, serta variasi lintas budaya dalam menentukan perilaku yang dapat diterima. Banyak istilah digunakan untuk menggambarkan anak dengan hambatan ini, seperti gangguan emosional dan gangguan perilaku. Keragaman definisi ini diperburuk oleh variasi pandangan mengenai perilaku "normal. " Tanpa intervensi yang tepat, anak-anak ini berisiko mengalami berbagai hasil negatif jangka panjang, termasuk kegagalan akademik, putus sekolah, masalah hukum, dan pengangguran.


  1. Tunarungu (Gangguan Pendengaran)


Tunarungu merujuk pada gangguan pendengaran, di mana anak-anak yang mengalami kondisi ini menghadapi tantangan yang berkaitan dengan hilangnya atau berkurangnya kemampuan mendengar. Menurut Andreas Dwijosumarto (dalam Soemantri, 2007), anak dianggap tunarungu jika mereka tidak mampu atau memiliki keterbatasan dalam mendengar. Tuli adalah kondisi di mana seseorang benar-benar tidak dapat mendengar karena hilangnya fungsi pendengaran pada telinga, sementara kurang mendengar berarti meskipun organ pendengarannya mengalami kerusakan, seseorang masih dapat mendengar, baik dengan maupun tanpa alat bantu dengar. 


Winarsih (2007) memberikan klasifikasi yang berbeda terkait anak tunarungu, yang terbagi menjadi empat kategori: tunarungu ringan (15-30 dB), tunarungu sedang (31-60 dB), tunarungu berat (61-90 dB), dan tunarungu sangat berat (91-120 dB).


Dari segi dampak, hilangnya fungsi pendengar dapat berpengaruh besar terhadap proses komunikasi individu tersebut dengan orang lain. Telinga, sebagai indra pendengar, memiliki peran krusial dalam menerima informasi berbentuk suara, yang kemudian diproses oleh otak untuk menghasilkan persepsi tertentu. Setiap manusia dapat berkomunikasi dan berbicara secara verbal karena otak mampu merekam semua informasi yang diterima oleh telinga sejak usia dini. Oleh karena itu, hilangnya kemampuan mendengar pada masa kanak-kanak dapat mengakibatkan kekurangan kosakata karena terhambatnya proses penerimaan informasi suara (Soemantri, 2007). 


Berdasarkan permasalahan yang ada, kita dapat menyimpulkan bahwa anak tunarungu tidak menghadapi kendala dalam perkembangan intelegensi dan aspek-aspek lainnya, kecuali yang berkaitan dengan pendengaran dan komunikasi. Ciri-ciri gangguan pendengaran pada anak antara lain adalah tidak memberikan respon terkejut terhadap suara keras, tidak merespons ketika dipanggil, kesulitan memahami instruksi, kurang perhatian, menonton televisi dengan volume yang tinggi, serta menggunakan kata-kata yang sangat sedikit untuk usia mereka. Mereka juga cenderung mengandalkan isyarat tambahan, seperti membaca bibir atau mengamati gerakan tubuh, untuk memahami instruksi (Long Wong, 2011).


  1. Tunadaksa (Gangguan Motorik)


Tunadaksa merupakan gangguan motorik yang mempengaruhi kemampuan gerak seseorang, mirip dengan kelainan pada anggota tubuh. Secara lebih rinci, tunadaksa adalah gangguan yang disebabkan oleh hambatan dalam fungsi gerak. Pada anak-anak, tunadaksa seringkali ditandai dengan bentuk tubuh yang tidak normal atau abnormal, yang menyebabkan otot, sendi, dan tulang tidak dapat berfungsi secara optimal. Anak-anak dengan tunadaksa tumbuh dan berkembang dalam keadaan tubuh yang bermasalah, sehingga penting bagi kita untuk memberikan perhatian khusus kepada mereka. Berikut adalah beberapa karakteristik yang sering ditemukan pada anak tunadaksa:


  1. Karakteristik Sosial atau Emosional

            Sikap masyarakat dapat berpengaruh signifikan terhadap perkembangan anak dengan cerebral palsy. Setiap anak memiliki emosi yang berbeda, yang dipengaruhi oleh pengalaman dan rangsangan yang diterima. Anak-anak tunadaksa tidak berbeda jauh dari anak-anak biasa; mereka juga memiliki keinginan dan kebutuhan yang sama. Namun, jika keinginan tersebut tidak terpenuhi, bisa muncul masalah baik dalam dirinya sendiri maupun pada orang lain, yang dapat menyebabkan emosi yang tidak stabil.


  1. Gangguan Sensorik

            Otak berperan sebagai pusat sensorik yang menerima dan memproses rangsangan dari luar tubuh. Pada anak-anak dengan cerebral palsy, gangguan pada otak sering disertai dengan masalah pada fungsi sensorik mereka.


  1. Gangguan Motorik

            Gangguan motorik muncul ketika saraf motorik mengalami kerusakan, yang biasanya terlihat secara fisik. Gejala gangguan ini bisa berupa kekakuan, kelumpuhan, gerakan yang tidak terkontrol, serta kesulitan dalam menjaga keseimbangan.


Dengan memahami karakteristik ini, kita dapat memberikan dukungan yang lebih baik untuk anak-anak dengan tunadaksa, membantu mereka menjalani kehidupan yang lebih baik.


  1. Tunanetra (Gangguan Penglihatan)


Karakteristik anak dengan ketunanetraan ditandai oleh keterbatasan dalam penglihatan, yang membuat mereka mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Anak-anak ini sering kali kesulitan dalam menemukan mainan atau berkumpul dengan teman-teman, serta mengalami tantangan dalam meniru perilaku orang tua mereka dalam kehidupan sehari-hari. Kekhawatiran ini berpotensi berdampak pada perkembangan mereka, belajar, keterampilan sosial, dan perilaku secara keseluruhan.


  1. Dampak ketunanetraan terhadap karakteristik kognitif anak sangat mempengaruhi proses perkembangan dan belajar mereka, yang bervariasi. Lowenfield mengemukakan bahwa kebutaan dan penglihatan rendah dapat berpengaruh signifikan terhadap perkembangan kognitif. Terdapat tiga area dasar yang menjadi identifikasi keterbatasan anak tunanetra: a) Tingkat dan keanekaragaman pengalaman. Anak tunanetra sering kali mengalami keterbatasan dalam pengalaman, yang disebabkan oleh keterbatasan dalam fungsi organ lain yang normal. b) Kemampuan mobilitas. Indra penglihatan yang normal memungkinkan individu untuk bergerak dengan lebih bebas dalam lingkungan, tetapi keterbatasan penglihatan sangat mempengaruhi kemampuan mereka untuk berpindah tempat dalam kehidupan sehari-hari. c) Interaksi dengan lingkungan. Sementara individu yang normal dapat dengan cepat mengenali keadaan sekelilingnya di dalam ruangan yang ramai, anak tunanetra tidak memiliki kontrol yang sama. Meskipun mereka dilengkapi dengan keterampilan mobilitas, gambaran tentang lingkungan masih tetap kurang jelas.


  1. Dalam aspek akademik, dampak ketunanetraan tidak hanya berpengaruh pada perkembangan kognitif, tetapi juga terhadap keterampilan akademis, terutama dalam membaca dan menulis. Sebagai contoh, seorang individu dengan penglihatan normal tidak perlu memperhatikan secara detail bentuk huruf atau kata saat membaca atau menulis, sedangkan bagi anak tunanetra, hal ini menjadi tantangan yang signifikan karena gangguan ketajaman penglihatan. Kesulitan ini sering kali dapat diatasi dengan menggunakan berbagai alternatif media atau alat bantu membaca dan menulis yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka.


  1. Dari segi sosial dan emosional, perkembangan perilaku sosial umumnya dilakukan melalui observasi terhadap kebiasaan serta interaksi sosial di sekitarnya. Proses perbaikan dalam keterampilan sosial biasanya terjadi melalui pengulangan yang konsisten, dan apabila perlu, memohon masukan dari individu yang berpengalaman. Karena anak tunanetra memiliki keterbatasan dalam aspek penglihatan, mereka memerlukan pendekatan yang lebih kreatif dan penuh perhatian dalam pembelajaran sosial dan emosional mereka.


  1. Karakteristik perilaku anak tunanetra secara umum tidak menyebabkan masalah atau penyimpangan perilaku. Namun, ada beberapa pengaruh yang terlihat, seperti rasa curiga terhadap orang lain. Keterbatasan pada indra penglihatan dapat memengaruhi cara anak menerima informasi visual saat berkomunikasi dan berinteraksi. Selain itu, perasaan yang mudah tersinggung sering kali disebabkan oleh keterbatasan yang diperoleh melalui pendengaran. Dalam konteks interaksi sosial, bercanda bisa jadi membuat anak tunanetra merasa tersinggung.



  1. ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)


Menurut Zaviera (2009) yang dikutip oleh Mirnawati (2019), ADHD adalah singkatan dari Attention Deficit Hyperactivity Disorder, yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH). Istilah ini merujuk pada kombinasi dari perhatian yang kurang, hiperaktivitas, dan gangguan. Sebelumnya, ada istilah ADD (Attention Deficit Disorder) yang lebih fokus pada masalah pemusatan perhatian saja. Dalam beberapa tahun terakhir, istilah ADHD semakin sering dibahas dalam konteks medis, pendidikan, dan psikologi. 


Anak-anak dengan ADHD termasuk dalam kategori anak berkebutuhan khusus, yang memerlukan layanan pendidikan yang sesuai. Dari segi penampilan, anak-anak ADHD sering kali terlihat sama seperti anak-anak pada umumnya. Namun, masyarakat awam, termasuk guru, sering kali hanya menganggap mereka sebagai anak yang nakal atau kurang cerdas. Anggapan ini menyebabkan anak-anak dengan ADHD tidak mendapatkan layanan pendidikan yang tepat, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi mereka. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji kembali pemahaman tentang ADHD agar dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi dan karakteristik anak-anak ini.


ADHD dapat muncul dalam berbagai bentuk. Pada beberapa siswa, masalah utama adalah kurangnya perhatian, sehingga mereka mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi pada tugas tertentu; mereka sering kali pelupa dan mudah teralihkan. Di sisi lain, siswa yang menunjukkan gejala hiperaktif-impulsif sulit untuk duduk diam dan sering berpindah-pindah dari satu aktivitas ke aktivitas lain. Mereka juga mengalami kesulitan dalam menetapkan prioritas saat beraktivitas. Kondisi ini dapat mengganggu perkembangan kepribadian mereka serta interaksi dengan lingkungan sekitar. Gejala hiperaktivitas pada anak-anak ADHD ditandai dengan gerakan motorik yang melebihi rata-rata anak seusianya. Mereka tampak selalu bergerak, tanpa rasa lelah, dan sering kali sulit untuk ditenangkan (Wahidah 2018:300-301). 


         Untuk sikap seorang guru dalam berinteraksi dengan anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar haruslah inklusif dan penuh perhatian. Berikut adalah beberapa sikap yang sebaiknya dimiliki oleh seorang guru saat menghadapi anak-anak dengan kebutuhan khusus :



  1. Penerimaan dan Penghargaan: Dalam konteks ini, penting bagi guru untuk merangkul keberagaman di dalam kelas dan menghargai setiap anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Sikap menerima dan menghargai ini dapat menciptakan lingkungan yang inklusif, sekaligus membangun rasa percaya diri pada anak-anak tersebut.


  1. Pengetahuan dan Pemahaman: Seorang guru seharusnya memiliki pengetahuan serta pemahaman yang cukup mengenai berbagai jenis kebutuhan khusus yang mungkin dimiliki oleh anak-anak dalam kelasnya. Hal ini akan membantu guru untuk mengidentifikasi kebutuhan individu setiap anak dan merancang pendekatan pembelajaran yang sesuai.


  1. Kesabaran dan Empati: Anak-anak berkebutuhan khusus mungkin memerlukan waktu lebih serta dukungan tambahan dalam memahami materi atau menyelesaikan tugas. Oleh karena itu, selain pengetahuan dan pemahaman yang memadai, seorang guru juga harus dilengkapi dengan sikap sabar dan empati untuk dapat memberikan dukungan yang diperlukan, demi memastikan kesuksesan mereka.


  1. Adaptabilitas: Setiap anak berkebutuhan khusus memiliki kebutuhan dan gaya belajar yang unik. Sebagai seorang guru, kita perlu bersikap adaptif dalam pendekatan pembelajaran, dengan menggunakan strategi yang tepat sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak.


  1. Kolaborasi dengan Orang Tua dan Tim Pendukung: Guru perlu menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua anak berkebutuhan khusus serta berkolaborasi dengan tim pendukung yang terlibat dalam perawatan dan pendidikan mereka. Hal ini penting untuk memperkuat peran dan menyediakan dukungan yang konsisten antara lingkungan sekolah dan rumah, karena di luar dukungan guru, anak-anak berkebutuhan khusus juga memerlukan motivasi dari keluarga mereka, sebagai sumber semangat pertama.


  1. Mendorong Partisipasi Aktif: Guru diharapkan untuk mendorong partisipasi aktif anak-anak berkebutuhan khusus dalam proses pembelajaran dan kegiatan kelas. Ini mencakup penerapan metode pembelajaran yang variatif, penyesuaian tugas, serta dukungan tambahan agar anak-anak tersebut dapat terlibat sepenuhnya dalam kegiatan pembelajaran.


  1. Evaluasi dan Umpan Balik: Guru perlu melakukan evaluasi secara berkala terhadap perkembangan anak berkebutuhan khusus dan memberikan umpan balik yang konstruktif. Umpan balik ini berguna untuk membantu mengidentifikasi kemajuan, kesulitan, dan kebutuhan tambahan yang mungkin timbul selama proses pembelajaran.


Kegiatan Belajar Mengajar Anak Berkebutuhan Khusus


Peran guru dalam pengelolaan kelas inklusif bagi anak berkebutuhan khusus sangatlah penting. Dalam konteks pengajaran, perencanaan merupakan proses penyusunan materi pelajaran, penggunaan media, serta pendekatan dan metode pembelajaran yang dilakukan dalam suatu alokasi waktu tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.


Sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh Sabri (2017:137), peran guru sebagai demonstrator sangatlah krusial. Dalam peran ini, guru diharapkan memiliki penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran yang diajarkan serta terus mengembangkan diri agar pengetahuannya tetap relevan. Hal ini berpengaruh besar pada hasil belajar siswa.


Peran guru sebagai mediator dan fasilitator sangat diperlukan. Sebagai mediator, guru harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang media pendidikan, yang berfungsi sebagai alat komunikasi untuk memperlancar proses belajar-mengajar. Sebagai fasilitator, guru diharapkan mampu menyediakan sumber belajar yang bermanfaat, baik berupa narasumber, buku teks, majalah, ataupun surat kabar, untuk mendukung pencapaian tujuan dalam proses belajar-mengajar.


Sarana Prasarana Untuk Anak Berkebutuhan Khusus


Keberhasilan proses belajar mengajar bukan hanya dari kegiatan belajar mengajar tetapi sarana prasarana juga penting, dengan adanya keadaan sarana prasarana dan proses ngajar mengajar yang memadai, proses belajar akan menjadi efisien dan maksimal.


Upaya Guru Mengatasi Kesulitan Belajar Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus


Guru juga melakukan berbagai upaya untuk mendukung anak berkebutuhan khusus, seperti mengulang materi pelajaran, memberikan tugas yang lebih sederhana, menambah jam pelajaran, serta menerapkan variasi dalam metode mengajar. Selain itu, mereka juga memberikan bimbingan membaca untuk anak-anak yang mengalami kesulitan dalam berkomunikasi.


Hasil Belajar Anak Berkebutuhan Khusus


Berkaitan dengan hasil belajar anak berkebutuhan khusus, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan signifikan dalam hasil belajar siswa antara tahun 2017, 2018, dan 2019. Pada tahun 2017, terjadi peningkatan hasil belajar yang baik, dengan pencapaian mencapai 60%. Hal ini tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan siswa, tetapi juga merupakan hasil dari dedikasi dan kerja keras para guru.


Namun, memasuki tahun 2018, terjadi penurunan hasil belajar siswa, dengan pencapaian hanya mencapai 42%. Berdasarkan diagram yang ada, terlihat jelas bahwa kinerja siswa menurun pada tahun tersebut. Beruntungnya, pada tahun 2019, prestasi siswa kembali menunjukkan peningkatan dengan pencapaian mencapai 55%. Peningkatan hasil belajar ini dapat dilihat dari nilai ulangan harian dan nilai tugas lainnya yang diperoleh siswa.




























Daftar Pustaka


Hallahan, D. P., & Kauffman, J. M. (2006). Exceptional Learners: An Introduction to Special Education. Merrill/Prentice Hall.

Friend, M., & Bursuck, W. (2012). Including Students with Special Needs: A Practical Guide for Classroom Teachers. Pearson.

Bronfenbrenner, U. (1979). The Ecology of Human Development: Experiments by Nature and Design. Harvard University Press.

Epstein, J. L. (2001). School, Family, and Community Partnerships: Preparing Educators and Improving Schools. Westview Press.

Nurhakim, FY., & Furnamasari, FY. (2023). Sikap Guru Dalam Menghadapi Siswa Yang Berkebutuhan Khusus di Kelas 2 SDN Jelegong 01 Rancaekek. Jurnal Inovasi Ilmu Pendidikan, 1(3), 168-169.

Liza, A., Marlina, L., Pratama, GI, & Andriani, O. (2024). Peran Guru dan Orang Tua dalam Melaksanakan Pendidikan Inklusi Untuk ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) di Sekolah. Jurnal Ilmu Sosial, Pendidikan dan Humaniora, 3(1), 63-66.

Bunga, KM., Tanggur, SF., & Bulu, RV. (2020). PERAN GURU DALAM MENGELOLA KELAS INKLUSIF ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI STA. MARIA ASSUMPTA KOTA KUPANG. Jurnal Mahasiswa Pendidikan Dasar, 2(2), 127-128.

Nuwa, AAL., Ngadha, C., Longa, MV., Una, Y., & Wau, PM. (2023). MENGENALI DAN MEMAHAMI KARAKTERISTIK PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI TINGKAT SEKOLAH DASAR. Jurnal Pendidikan Inklusi, 1(2), 194-199.

Wardani, Kristi & Dwiningrum, Siti. (2021). Studi Kasus: Peran Orang Tua dalam Pendidikan

Wahidah, Evita Yuliatul, 2018. “Identifikasi dan Psikoterapi terhadap ADHD (Attetion Deficit)




×
Berita Terbaru Update