Peran Kolaboratif Guru, Orang Tua, dan Terapis dalam Intervensi Perilaku di Sekolah Inklusif
Ade Ivan /20220154091
Bangkit Candra Pamungkas/2022015116
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Email: adeivan795@gmail.com
Email: Bangkitcandrapamungkas29@gmail.com
Pendidikan inklusif adalah pendekatan strategis dan inovatif dalam dunia pendidikan yang bertujuan memperluas kesempatan belajar bagi seluruh anak berkebutuhan khusus, termasuk mereka yang menyandang disabilitas (Jauhari, 2017). Di dalamnya, tantangan tidak hanya datang dari aspek akademik, tetapi juga dari kebutuhan untuk menangani berbagai bentuk perilaku yang mungkin muncul sebagai respons terhadap lingkungan belajar yang kurang mendukung atau kebutuhan individual yang belum terpenuhi. Pendidikan inklusif di Indonesia masih menghadapi tantangan, seperti kurangnya pemahaman dari guru dan orang tua, keterbatasan tenaga pendidik yang terlatih, fasilitas sekolah yang belum ramah disabilitas, serta kurikulum yang belum fleksibel (Muhibbin & Hendriani, 2021).
Selain itu, masih terdapat ketimpangan kualitas pendidikan inklusif antar daerah di Indonesia. Sekolah-sekolah di daerah perkotaan cenderung lebih siap secara fasilitas dan sumber daya manusia, sementara sekolah di daerah terpencil atau tertinggal sering kali belum memiliki guru pendamping khusus, akses ke terapis profesional, ataupun dukungan orang tua yang memadai. Hal ini menghambat proses intervensi perilaku yang seharusnya dilakukan secara komprehensif dan kolaboratif.
Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk membahas pentingnya peran kolaboratif antara guru, orang tua, dan terapis dalam intervensi perilaku di sekolah inklusif, serta menyoroti hambatan-hambatan yang masih terjadi di Indonesia. Harapannya, temuan dan pembahasan dalam artikel ini dapat menjadi rujukan bagi pengambil kebijakan, pendidik, dan masyarakat luas dalam mewujudkan pendidikan inklusif yang lebih efektif dan berkeadilan.
“peran kolaboratif guru, orang tua, dan terapis dalam intervensi perilaku di sekolah inklusif, serta mengidentifikasi hambatan yang dihadapi dan solusi yang dapat diterapkan di Indonesia"
Di lingkungan kelas, guru memegang peranan sentral dalam pelaksanaan intervensi perilaku. Guru berperan sebagai pengajar, pembimbing, penilai, dan evaluator bagi peserta didik pada(Tanggung et al., n.d.). Namun, masih banyak guru yang belum memiliki bekal pelatihan khusus, sehingga pelaksanaan intervensi sering kali kurang optimal. Dalam situasi ini, keberadaan terapis sangat penting untuk mendampingi guru dalam menyusun program intervensi yang terstruktur, berbasis observasi, dan pendekatan ilmiah. Terapis juga berperan dalam memantau kemajuan siswa dan memberikan masukan secara berkala untuk penyempurnaan strategi.
Di sisi lain, peran orang tua sangat krusial dalam mendukung kesinambungan intervensi di luar lingkungan sekolah. Ketika pendekatan yang diterapkan oleh guru juga dijalankan secara konsisten di rumah, maka akan tercipta pola pembiasaan yang memperkuat perilaku positif anak. Agar kolaborasi ini berjalan efektif, diperlukan komunikasi terbuka, sikap saling percaya, dan keterlibatan aktif semua pihak. Dalam hal ini, guru dan terapis memiliki tanggung jawab untuk membimbing dan mendampingi orang tua agar mereka merasa percaya diri dan mampu menjalankan peran tersebut secara optimal di lingkungan keluarga.
Dalam penerapan pembelajaran yang inklusif, berbagai hambatan masih sering ditemui, mulai dari persoalan teknis hingga tantangan yang bersifat budaya dan sosial. Salah satu tantangan yang paling mencolok adalah minimnya pemahaman dari pihak guru maupun orang tua tentang apa itu pendidikan inklusif sebenarnya. Masih ada anggapan keliru bahwa anak berkebutuhan khusus hanya cocok bersekolah di lembaga khusus seperti SLB, bukan di sekolah umum. Pandangan seperti ini justru semakin memperkuat jarak antara anak berkebutuhan khusus dengan lingkungan sosialnya, dan membuat proses inklusi berjalan lambat. Di sisi lain, jumlah guru yang memiliki latar belakang atau pelatihan khusus dalam pendidikan inklusif masih sangat terbatas.
Aspek sarana dan prasarana juga tak bisa diabaikan. Masih banyak sekolah yang belum menyediakan fasilitas dasar seperti akses jalan untuk kursi roda, toilet yang sesuai kebutuhan penyandang disabilitas, maupun alat bantu belajar lainnya. Kurangnya dukungan infrastruktur membuat siswa berkebutuhan khusus kesulitan mengikuti proses belajar secara maksimal.
Selain itu, sistem kurikulum yang berlaku saat ini masih terlalu kaku. Kurikulum nasional belum sepenuhnya memberi ruang bagi penyesuaian materi dan pendekatan belajar sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan individual siswa. Tanpa kurikulum yang lentur, akan sulit bagi guru untuk menerapkan pendidikan yang benar-benar inklusif di ruang kelas mereka.
Untuk mengatasi hambatan tersebut, solusi yang disarankan antara lain adalah penyelenggaraan pelatihan dan pengembangan kompetensi guru secara berkelanjutan. Untuk mengatasi hal ini, solusi yang dapat diterapkan meliputi pelatihan guru secara berkelanjutan, peningkatan kerja sama antara sekolah, orang tua, dan tenaga ahli, serta penyediaan fasilitas yang mendukung kebutuhan siswa berkebutuhan khusus (Implementasinya, 2023).
Tak kalah penting, pola pikir masyarakat terhadap pendidikan inklusif perlu dibentuk secara positif melalui sosialisasi yang intensif dan berbasis praktik baik. Agar program ini dapat berjalan secara berkelanjutan, dukungan dari sisi kebijakan dan pendanaan juga harus diperkuat, sehingga pendidikan inklusif tidak hanya menjadi wacana, melainkan benar-benar terlaksana secara nyata di lingkungan sekolah.
Kesimpulan
Pendidikan inklusif di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan yang perlu diselesaikan melalui kerjasama antara guru, orang tua, dan terapis. Hambatan seperti kurangnya pemahaman tentang pendidikan inklusif, terbatasnya pelatihan bagi guru, serta fasilitas yang kurang mendukung masih menjadi masalah utama. Peran masing-masing pihak, yaitu guru sebagai pengajar, terapis dalam menyusun program intervensi, dan orang tua dalam mendukung proses di rumah, sangat penting untuk keberhasilan intervensi perilaku.
Solusi yang dapat diambil antara lain adalah pelatihan berkelanjutan bagi guru, peningkatan kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan tenaga ahli, serta penyediaan fasilitas yang memadai. Selain itu, perubahan pola pikir masyarakat dan dukungan kebijakan serta pendanaan yang konsisten sangat diperlukan agar pendidikan inklusif bisa dilaksanakan dengan baik. Harapannya, pendidikan inklusif di Indonesia dapat berkembang menjadi lebih efektif dan berkeadilan, memberikan kesempatan belajar yang lebih luas bagi anak-anak berkebutuhan khusus.
Daftar pustaka
Implementasinya, D. (2023). No Title. 6, 761–777.
Jauhari, A. (2017). Pendidikan Inklusi Sebagai Alternatif Solusi Mengatasi Permasalahan Sosial Anak Penyandang Disabilitas. IJTIMAIYA: Journal of Social Science Teaching, 1(1). https://doi.org/10.21043/ji.v1i1.3099
Kamilah, R., & Alghaffaru, Z. (n.d.). Pengelolaan Proses Pembelajaran Peserta Didik Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusif ( Studi Kasus di Sekolah Dasar Galuh Handayani Surabaya )
Muhibbin, M. A., & Hendriani, W. (2021). Tantangan Dan Strategi Pendidikan Inklusi di Perguruan Tinggi di Indonesia: Literature Review. JPI (Jurnal Pendidikan Inklusi), 4(2), 92. https://doi.org/10.26740/inklusi.v4n2.p92-102
Tanggung, D. A. N., Menjadi, J., & Nalapraya, S. P. (n.d.). Tugas, peran, dan tanggung jawab menjadi guru profesional. 1–12.