Peran Strategis Guru dalam Mengelola Perilaku Anak dengan Hambatan Emosi dan Perilaku di Kelas Inklusif
Nurlia Ari Dwiyanti/2022015082
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
nurliaarid@gmail.com
I. Pendahuluan
Pendidikan inklusif merupakan pendekatan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik, termasuk mereka yang memiliki hambatan emosi dan perilaku, untuk belajar bersama dalam satu lingkungan yang sama tanpa diskriminasi. Dalam konteks ini, sekolah dituntut untuk mampu mengakomodasi perbedaan kebutuhan siswa agar mereka dapat belajar secara optimal. Anak-anak dengan hambatan emosi dan perilaku memerlukan pendekatan yang berbeda dibandingkan anak-anak lainnya karena tantangan yang mereka hadapi berpengaruh terhadap proses belajar dan interaksi sosial mereka di lingkungan sekolah.
Hambatan emosi dan perilaku meliputi berbagai bentuk gangguan, seperti perilaku agresif, menarik diri secara sosial, kesulitan mengatur emosi, serta gangguan atensi dan hiperaktivitas. Jika tidak ditangani secara tepat, hambatan ini dapat menghambat perkembangan akademik dan sosial anak. Oleh karena itu, guru memiliki peran yang sangat strategis sebagai garda terdepan dalam membantu anak mengelola perilaku mereka serta menciptakan suasana belajar yang aman dan mendukung.
Namun, dalam praktiknya, banyak guru belum mendapatkan pelatihan khusus atau pengalaman yang memadai dalam menangani anak dengan kebutuhan khusus ini. Hal ini menyebabkan banyak tantangan yang muncul di kelas inklusif, baik bagi guru maupun siswa. Maka dari itu, dibutuhkan pemahaman mendalam, kolaborasi lintas profesi, dan pendekatan sistematis agar proses pembelajaran dapat berjalan secara efektif dan inklusif.
Artikel ini bertujuan untuk mengupas lebih dalam peran guru dalam mengelola perilaku anak dengan hambatan emosi dan perilaku di kelas inklusif. Fokus utama pembahasan mencakup tahapan identifikasi, strategi pengelolaan perilaku, pentingnya kolaborasi dengan pihak lain, serta pengembangan kompetensi profesional guru.
II. Pembahasan
1. Deteksi Dini Masalah Emosi dan Perilaku di Kelas Inklusif
Langkah pertama dalam pengelolaan perilaku anak dengan hambatan emosi adalah melakukan deteksi dini atau identifikasi kebutuhan khusus tersebut. Guru harus mampu mengenali gejala-gejala perilaku yang menyimpang dari perkembangan anak normal, seperti tantrum berlebihan, perilaku agresif terhadap teman atau guru, menarik diri dari lingkungan sosial, hingga tidak mampu memusatkan perhatian dalam waktu lama. Menurut Warsini (2019), anak-anak dengan gangguan emosi dan perilaku menunjukkan dua gejala utama yaitu internalisasi (seperti cemas, menarik diri) dan eksternalisasi (seperti agresi, tidak patuh).
Proses deteksi ini dapat dilakukan melalui observasi berkelanjutan, pengisian instrumen penilaian perilaku, wawancara dengan orang tua, dan diskusi dengan tim pendukung seperti psikolog sekolah. Identifikasi yang akurat menjadi dasar penting bagi guru dalam merancang intervensi pembelajaran dan perilaku yang tepat sasaran.
2. Strategi Pengelolaan Perilaku di Kelas Inklusif
Setelah proses identifikasi dilakukan, guru perlu merancang strategi pengelolaan perilaku yang disesuaikan dengan karakteristik anak. Salah satu strategi yang umum digunakan adalah penerapan manajemen kelas berbasis penguatan positif. Dengan memberikan pujian, hadiah simbolik, atau tanggung jawab kepada anak yang menunjukkan perilaku positif, guru dapat memotivasi anak untuk terus memperbaiki perilakunya.
Gartrell dan Cairone (2014) menekankan bahwa guru sebaiknya tidak hanya fokus pada koreksi perilaku negatif, melainkan harus membangun keterampilan sosial dan emosional anak melalui pendekatan preventif dan suportif. Guru juga dapat menggunakan teknik visual, jadwal harian yang terstruktur, serta penggunaan isyarat non-verbal untuk membantu anak memahami harapan perilaku di kelas.
Selain itu, penting bagi guru untuk menyesuaikan pendekatan instruksional dengan kebutuhan individual anak. Misalnya, memberikan waktu tambahan untuk menyelesaikan tugas, menggunakan media pembelajaran yang menarik, serta memberikan ruang tenang bagi anak yang membutuhkan waktu untuk menenangkan diri.
3. Kolaborasi dengan Orang Tua dan Profesional Lain
Mengelola perilaku anak di kelas inklusif tidak bisa dilakukan sendiri oleh guru.
Kolaborasi dengan orang tua dan tenaga ahli seperti terapis perilaku, konselor, atau psikolog sangat penting dalam menyusun program modifikasi perilaku yang menyeluruh. Komunikasi dua arah antara guru dan orang tua memungkinkan pertukaran informasi mengenai kondisi anak di rumah dan sekolah, sehingga strategi yang diterapkan menjadi lebih konsisten.
Menurut Friend dan Bursuck (2012), kolaborasi antar profesional dalam pendidikan inklusif merupakan kunci keberhasilan intervensi, karena setiap pihak membawa perspektif dan keahlian berbeda yang saling melengkapi. Guru dapat mengadakan pertemuan rutin dengan tim layanan khusus untuk mengevaluasi perkembangan anak dan menyesuaikan strategi yang diterapkan.
4. Pengembangan Kompetensi Profesional Guru
Guru di kelas inklusif harus terus mengembangkan kompetensinya agar mampu merespons dinamika kebutuhan siswa yang beragam. Pelatihan, workshop, serta studi lanjut dalam bidang pendidikan inklusi, psikologi anak, atau manajemen perilaku menjadi bagian penting dalam peningkatan kapasitas guru.
Kemampuan guru untuk melakukan refleksi diri dan keterbukaan terhadap masukan juga berpengaruh terhadap efektivitas pengelolaan kelas. Menurut Sukarno (2021), guru inklusif yang efektif adalah mereka yang memiliki pengetahuan pedagogis yang kuat, empati terhadap siswa, serta keterampilan komunikasi interpersonal yang tinggi.
III. Kesimpulan
Peran guru dalam mengelola perilaku anak dengan hambatan emosi dan perilaku di kelas inklusif sangatlah kompleks dan memerlukan pendekatan multidimensi. Dimulai dari deteksi dini, penerapan strategi pembelajaran yang adaptif, hingga kolaborasi dengan orang tua dan tenaga ahli, semuanya berperan penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang suportif. Guru juga harus secara berkelanjutan meningkatkan kompetensinya agar mampu menjawab tantangan pembelajaran inklusif secara profesional dan berempati. Pendidikan inklusif yang berhasil membutuhkan kerja sama lintas profesi dan komitmen bersama demi keberhasilan setiap peserta didik.
IV. Referensi
Astuti, R. (2024). Peran Guru dalam Suksesnya Pembelajaran Inklusif di Kelas. Pendidikankhas.com.
Friend, M., & Bursuck, W. D. (2012). Including Students with Special Needs: A Practical Guide for Classroom Teachers. Pearson.
Gartrell, D., & Cairone, K. (2014). A Guidance Approach for the Encouraging Classroom. Cengage Learning.
Sukarno, S. (2021). Kompetensi Guru dalam Pembelajaran Inklusif. Jurnal Pendidikan Khusus, 9(1), 23-31.
Warsini, S. (2019). Gambaran Perilaku Anak Berkebutuhan Khusus dan Penanganannya oleh Guru di Sekolah Inklusi. Jurnal Keperawatan Klinis dan Komunitas, 3(2), 111–118.