ARTIKEL
”TANTANGAN DAN SOLUSI DALAM PENERAPAN MODIFIKASI
PRILAKU DI SEKOLAH DASAR INKLUSIF.”
Dibuat oleh :
Adelina suri leon 2022015161
Kelas 6D
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA
YOGYAKARTA
2025
Gmail: surileonadelina@gmail. com
PENDAHULUAN
Jumlah Anak Berkubutuhan Khusus (ABK) di Indonesia masih cukup tinggi, dengan perkiraan 1,6 juta anak menurut data BPS tahun 2017. Namun, hanya sedikit dari mereka yang mendapatkan lanyangan pendidikan inkulusif di sekolah Dasar. Dengan hanya 18 % .anak yang di laporkan mendapatkan menurut lamam kemendikbud.go.id (kompas 2019).pendidikan merupakan hak bagi semua individu,termasuk ABK,sebagaimana diamatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang sistem pendidikan Nasional, yang mengarisbawahi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidiakan yang setara, termasuk mereka yang memiliki keberagaman fisik,emosional, intelektual,internal,atau sosial.
Konseptualnya, pendidikan inklusif menepatkan ABK untuk belajar di sekolah umum bersama dengan teman sebaya mereka, sebagai alternatif terhadap pendidikan khusus di sekolah luar Biasa (SLB). Pendekatan ini bertujuan untuk mengurangi diskriminasi dan memungkinkan ABK untuk berkembang secara maksimal dengan interaksi dan sosialisasi yang lebih luas. Pendidikan inkusif telah diimplementasikan di Indonesia,bahkan hingga tingkat Sekolah Dasar, namun masih dihadapkan pada sejumlah permasalahan. Utama meliputi kurangya kompetensi guru dalam menghadapi ABK. Minimnya fasilitas pendukung, kurangya kurikulum yang disesuiakan, dan beragam karakteristik ABK yang memerlukan pendekatan yang berbeda.
Pentingnya kajian lebih lanjut terkait permasalahan yang di hadapi Sekolah Dasar terkait penerapan pendidikan inklusif menegaskan pentingya pemahaman mendalam terhadap kendala dan tantangan yang dihadapi oleh sekolah dan guru. Ini menjadi dasar untuk upaya perbaikan yang lebih terarah dan efektif dalam mendukung pendidikan inklusi di Indonesia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Permasalahan dan penerapan pendidkan inklusif di Sekolah Dasar dapat dijabarkan dalam beberapa aspek, sebagai berikut:
Peserta didik
Menurut definis yang umumnya diterima, peserta didik merujuk kepada individu yang terlibat dalam proses pembelajaran sepanjang hidupnya. Namun, dalam konteks bahasa sehari-hari, peserta didik mengacu pada siswa yang berada dalam lingkungan sekolah. Peserta didik menajadi subjek utama dalam pelaksaan pendidikan dan pembelajaran, sehingga penting bagi para pendidik unutk memperlakukan dan memahami peserta didik sebagai sebuah kesatuan yang utuh. Pendidikan memiliki tujuan meningkatkan kecerdasan dan kualitas kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Arti dari pendidikan sendiri adalah usaha yang mengarahkan manusia untuk mencapai potensi maksimalnya (ilahi dan Rose, 2013). Beberapah masalah yang terkait dengan peserta didik talah diidentifikasikan oleh Agustinus (2019,termasuk :
Kehadiran anak berkebutuhan khusus (ABK) dengan beragam masalah yang berbeda dalam satu kelas dapat menjadi tantangan yang signifikan bagi guru pembimbing khusus (GPK) dalam menyelidikan layanan yang efektif.
Anak berkebutuhan khusus (ABK) mengalami kesulitan dalam mengikuti proses belajar dengan baik, yang disebabkan oleh kesenjangan dalam kemampuan akademik antara mereka dan anak-anak seguler. Hal ini menuntut penyesuaian yang cukup banyak dalam pendekatan pembelajaran bagi ( ABK) tersebut.
Sikap anak berkebutuhan (ABK) yang belem mampu mengikuti aturan dapat mengangu proses kegiatan belajar mengajar (KBM) yang sedang berlangsung.
Permasalahan yang muncul dari siswa regurel terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK) sering kali berkaitan dengan kurangya empati dan kesadaran terhadap tantangan yang dihadapi oleh anak ABK tersebut ( Riski Aililia,2021).
Kurikulum
Kurikulum pendidikan inkusif mengusun prinsip fleksibilitas, di mana kurikulum tersebut disesuiakan dengan kebutuhan dengan kebutuhan individu setiap peserta didik dan diadaptasi sesuai dengan krakteristik lembaga pendidikan yang bersangkutan, tanpa mengabaikan pedoman yang telah ditetapkan. Implementasi kurikulum pada pendidikan inkusif bertujuan untuk meningkatkan kemandirian, kemampuan berpikir kritis, dan mempromosikan nilai-nilai kebersamaan dilingkungan pendidikan. Kurikulum harus dapat disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, berbeda dengan praktik yang terjadi sebelumnya dimana peserta didik dipaksa untuk mengikuti kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Salah satu permasalahan yang sering muncul adalah ketidaksesuian kurikulum pembelajaran dan penilain dengan kebutuhan anak. Kurikulum yang sesuai dengan untuk pendidikan inklusi adalah kurikulum yang dimodifikasi, yaitu kurikulum standar bagi peserta didik regurel yang telah disesuiakan dengan kemampuan awal dan krakteristik peserta didik berkebutuhan khusus (Noviandari et al.., 2021) berdasarkan permendiknas No. 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusi bagi siswa yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan serta bakat istimewa,satuan pendidikan yang menerapkan pendidikan inklusi menggunakan kurikulum tingkat satuan.
Pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan dan potensi siswa sesuai dengan bakat dan minatnya merupakan suatu prinsip yang di ungkapkan oleuh Yuly Sakinatun karomah (2022). Selain itu, mentri pendidikan juga diharapkan memperhatikan prinsip -prinsip pembelajaran yang sesuia dengan krakteristik belajar siswa. Yang mengikuti pembelajaran berdasarkan kurikulum yang dikembangkan sesuia dengan standar nasianal pendidikan dan belebihi standar nasioan pendidikan, wajib mengikuti ujian nasioanal. Namun, siswa yang mengikuti pembelajaran berdasarkan kurikulum dibawah standar nasional pendidikan akan mengikuti ujian yang diselengarakan oleh satuan pendidikan bersangkutan.
Karena akan berkebutuhan khusus mengunakan standar kurikulum nasioanal yang sama dengan siswa regurel, maka standar penilain siswa ABK juga harus mengikuti standar penilain siswa regurel, akhirnya, beberapa anak berkebutuhan mungkin tidak dapat lulus karena standar penilain tersebut tidak mempertimbangkan tingkat kecerdasan mereka yang berbeda.
Tenaga pendidik
Menurut ternoto (2016) dalam pelaksanan pembelajaran pada pendidik inklusi di Sekolah Dasar, banyak permasalahan yang muncul terkait pemahaman guru. Permasalahan utama yang sering disoroti oleh tenaga pendidik adalah kurangya ketersedian Guru pendamping kelas (GPK). Selain itu, kurangya kompetensi praktisi dalam mengelolah anak berkubutuhan khusus ( ABK ) juga menjadi masalah utama, menyebab kesulitan dalam pelaksaan kegiatan belajar mengajar (KMB). Pemahaman yang kurang dari tenaga pendidik tentang cara menghadapi ABK di sekolah inklusi juga menjadi hambatan. Latar belakang pendidikan praktisi tidak sesuia dan beban adminstrasi yang semakin bertambah menyulitkan tenaga pendidik. Kesabaran yang kurang dalam mengahdapi anak ABK dan kesulitan berintraksi dengan orang tua merupakan permasalahan tambahan yang dihadapi tenaga pendidik.
Permasalahan yang muncul juga mencakup kurangya pengetahuan dalam menangani anak berkebutuhan khusus, terutama karena mayoritas tenaga pendidik berasal dari latar belakang pendidik umum, bukan pendidik khusus. Kurangya pengetahuan yang detail tentang cara menagatasi kebutuhan khusus anak menajdi salah satu dampaknya. Faktor yang mengahambat pelaksanaan program pendidikan inklusi adanya kuranya kesesuian kurikulum yang belum di rancang khusus untuk program sekoalah inklusi, sehingga hal ini menjadi tantangan sendiri bagi pendidik. Di samping itu,fasilatas pendukung yang belum memadai juga menjadi hambatan dalam memberikan pelayanan kepada anak berkebutuhan khusus (Setianingsih dan Listyarini,2019).
Kegiatan pembelajaran.
Ketidakadopsian sistem platon tutoring dalam proses pembalajaran telah menyebabkan anak kebutuhan khusus menghadapi kesulitan dalam menyerap materi pembelajaran. Sistem platon tutoring menjadi penting untuk fasilitasi. Kordinasi dan kerja sama anatara anak-anak, yang membantu mereka lebih terstruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Namun, permasalahan terkait sistem pengajaran dalam pendidikan inklusi di sekolah dasar masih belum memberikana jaminan atas keberhasilan anak berkebutuhan khusus dalam memahami materi pembelajaran. Hal ini terutama disebabkan oleh keterbatasan fasilitas dan media pembelajaran yang belum lengkap (Elfiana dan Widiyono,2022)
Dalam konteks pembelajaran, perubahan perilaku yang positif dari peserta didik merupakan tujuan utama. Pembelajar adalah proses interaksi dengan teman-temanya untuk bersosialisasi. Interaksi tersebut di pengaruhi oleh faktor ekstrernal dan iternal. Oleh karena itu tugas pertama praktisi pendidikan adalah menciptakan lingkungan yang mendukung perubahan prilaku peserta didik kearah yang lebih baik ( Hera,2018 ).dalam metode pembalajaran yang sesuia dengan kraktristik siswa.
Metode yang diterpakan dalam proses pengajaran tindaklah rumit, namun di pilih berdasarkan perkiraan sesuia dengan kraktristik siswa ABK serta lainya agar tujuan pembelajaran mudah tercapai. Dalam pendekatan klasikal,tenaga pendidik emngunakan metode yang sederhana namun efektif untuk memastikan pemahaman siswa, meskipun perlu pendekatan khusus terhadap siswa ABK karena cendrung memiliki tipe slow learner yang memerlukan penjelasan lebih lanjut dalam praktisi pendidikan. Tenaga pendidik di kelas juga sering mengalami kesluitan dalam memilih metode pembelajaran yang sesuia.mereka harus mempertimbangka keberadaan siswa ABK yang disesuiakan dengan siswa regurel lainya, namun tetap berusaha memilih metode yang tepat agar pemahaman dapat di peroleh sebanyak mungkin siswa.bahkan ketika ada siswa yang masih belum memahami, peserta didik tetap sabar dalam memberikan bimbingan.
Proses belajar-mengajar di kelas disesuiakan agar nyaman bagi peserta didik, bahkan ketika mereka ingin pindah tempat duduk karena merasa bosan. Sumber belajar juga dibuat semenarik mungkin agar disukai pesrta didik, tetapi tetap memperhatiakan kompetensi dan kompetensi dasar yang telah ditetapka.
Tingkat pemahaman anak berkebutuhan khusus (ABK) terhadap materi pembelajaran memang bervariasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkat kecerdasan mereka, namun tenaga pendidik berusaha semaksimal mungkin agar semua murid dapat memahami materi pembelajaran yang disampaiakan. Tenaga pendidik perlu pandai dalam merancang strategi yang sesuai dengan kebutuhan individu, termasuk strategi untuk memusatkan perhatian, mengatasi masalah, dan lain-lain. Karena kekhususan dalam aspek fisik, emosuonal, dan lainya memiliki perkembangan yang berbeda dengan anak normal, variasi krakteristik siswa juga memunculkan kebutuhan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, peran dan perhatian dari berbagai pihak, termasuk praktisi pendidikan sebagai tenaga pendidik yang berintraksi langsung dengan siswa, sangatlah penting (Asiyah, 2018).
Manajemen sekolah
Manajemen pendidikan inklusimelibatkan serangkaian proses yang mencakup perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan dalam penyelengaraan pendidikan inklusi dengan tujuan mencapai target yang ditetapkan. Di sekolah inklusi, manajemen pendidikan memberikan wewenang penuh kepada kepala sekolah unutk mengatur bebrgai aspek penyelnggaraan, serta hubungan dengan masyarakat (zaini, 2022).
Namun, sejumlah permasalahan terkait manajemen pendidikan inklusi diidentifikasi oleh Agung (2019). Salah satunya adalah perencanaan pengelolahan pendidikan inklusi yang melibatkan praktisi dan personel lain secara menyeluruh. Pengorganisasian dalam pembagian tugas belum optimal dilakuakan oleh praktisi yang bertugas dalam pengawasan terhadap kegiatan atau program belum dilakukan secara menyeluruh.
Sekolah juga belum penuhnya siap untuk mengimplementasikan program inklusi, baik dari segi atministrasi maupun sumber daya manusia (SDM). Proses kegiatan belajar mengajar (KMB) juga belum berjalan secara optimal. Selama ini, anak berkebutuhan khusus (ABK) belum mendapatkan layanan dan program khusus dari sekolah untuk mengembangkan potensi mereka.
Sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana memengan peran penting dalam mendukung pendidikan inklusif di berbegai lembaga pendidikan. Seperti yang disoroti oleh David Wijaya (2019). Ketersedian sarana dan prasarana memeliki dampak signifikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, mengigat ketergantuan mereka pada media pembelajaran yang beragam. Namun, masalah utama muncul karena banyak sekolah inklusif yang belum dapat memenuhi kebutuhan akan media pembejaran bagi peserta didik ABK Agustin 2019.
Selain itu, pengunaan media pembelajaran adaptif belum sacara optimal, dan sering kalin tersedia media standar yang ditunjukan oleh peserta didik regurel. Hal ini tidak adanya media khusus yang dapat mendukung pembelajaran bagi peserta didik ABK agar lebih mudah memahaminya (Hera, 2018).
Kerjasama
Kerja sama yang dikmaksud adalah kolaborasi antara sekoalh menerapkan pendidikan inklusi, pemerintah, dan wali murid. Nurcahyani ( dalam intel et.al..,2020) menyatakan bahwa peran aktif pemerintah dalam pelaksanaan sekolah inklusif masih kurang. Beberapa aspek menjadi sorotan meliputi ketidakjelasan terkait pelaksanaan sekolah inklusif, serta kekurangan pelatiahan tentang pendidikan inklusi bagi praktisi. Perhatikan pemerintah terhadap tenaga profesioanl yang mendukung sekolah inklusif dinilai belum memadai, baik dalam hal jumlah maupun kesejatraan mereka. Program-program dijalankan pemerintah juga di anggap belum berkelanjutan, dan belum lembaga khusus bertangung jawab dalam memberikan pelatiahan pendampingan untuk anak berkebutuhan khusus (ABK)
Penyelengaraan pendidikan inklusi juga melibatkan kerja sama antara sekolah dan wali murid, yang dalam konteks ini adalah kelurga sangat penting dalam mendukung keberhasilan pembelajaran peserta didik, terutama ABK (Widiyono, 2022, namun, pada kenyataanya, sebagai besar orang tua dari anak kebutuhan khusus mengalami kesulitan dalam memberikan pendampingan belajar bagi anak mereka dirumah.
Masyarakat
Kondisi lingkungan masyarakat yang beragam, dengan perbedaan latar belakang pendidikan, profesi, dan lain-lain, menghasilakan respons yang beragam terhadap keberadaan anak kebutuhan khusus. Sebagai anak yang aneh. Karena itu, saat berinteraksi atau bertemu dengan anak berkebutuhan khusus di lingkungan masyarakat,mereka cendrung mengabaiakanya atau bahkan menghindarinya. Fenomena ini mencerminkan kurangya perhatian dan kepedulian sari masyarakat terhadap pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus, karena masih ada pandangan negatif yang beredar di masyarakat secara luas (intan et at,. 2020).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, Disimpilkan bahwa pendidikan inklusi di sekolah dasar menghadapi sejumlah tantangan terkait dengan delapan komponen utama: peserta didik, kurikulum, tenaga pendidik, Kegiatan pembelajaran, manajemen sekolah,sarana dan prasarana, kerja sama dengan masyarakat, serta kurangnya dukungan infrastruktur bagi sekolah inklusi. Salah satu tantangan utama adalah kekurangan kerja sama antara berbagai pihak, termasuk pemerintah atau instansi terkait, dan orang tua atau wali murid.
Fokus utama dalam penyelengaraan pendidikan inklusif adalah peran tenaga pendidik. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan forum terkait untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik dalam memberikan layanan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Ini termasukkemampuan mereka dalam melaksanakan pembelajaran yang efektif, menyediakan media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus, mengembangkan kurikulum tambahan yang sesuai dengan kemampuan mereka, danmembangun kerja sama yang kuat dengan orang tua atau wali murid.
Selain itu dukungan dari lembaga sekolah dalam menjalin kerja sama dengan pemerintah juga diperlukan. Hal ini bertujuan untuk menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung sehingga sekolah dapat memberikan layanan terbaikk bagi anak-anak berkebutuhan khusu.
REFERENSI
Agustin, I. (2019). Permasalahan dalam penyelengaraan pendidikan inklusi di SDN sekecamatan soko kabupaten Tuban. ELSE (Elementary School Education Journal):Jurnal pendidikan dan pembelajaran sekolah dasar, 3(2),17-26
Asiyah, D.(2018). Dampak pola pemebelajaran sekolah inklusi terhadap anak berkebutuhan khusus. Prophetic: professional, Empaty, Islamic CounselinJournal, 1(01.
David Wijaya, S.E.(2019). Manajemen pendidikan inklusif sekolah dasar.Prenada Media.
Hera, E.( 2018). Permasalahan sekolah dasar inklusi di kelas atas SD sukailmu wilayah kabupaten progo. In Skripsi
Hermawan, I. (2019) Metodologi penelitian pendidikan (kualitatif,kuantitatif dan mixed method). Hidayatul Quran
Ilahi, M.T., & Jamaludin, G.M.(2020). Problematika guru dalam pembelajaran anak berkebutuhan khusus(Abk) sd inklusi taman siswa rejang lebong. Jurnal Fundadikdas ( fundamental pendidkan dasar), 3(2),113-126.
Kemendikbud. (2022). Data sebaran satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif (SPPPI) jenjang SD.
https//ditpsd.kemendikbud.go.id/artikel/detaail/data-sebaran-satuan-pendidikan-penyelenggara-pendidikan-inklusif-spppi-jenjang-sd