Tantangan dan Solusi Penerapan Modifikasi Perilaku pada Sekolah Inklusif di Abad 21
Ari Kurnia Wijayanti/2022015088
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
E-mail : ariwijayanti0301@gmail.com
PENDAHULUAN
Pendidikan inklusif merupakan kelanjutan dari konsep pendidikan terpadu yang mulai diterapkan di Indonesia sejak tahun 1980. Istilah ini berasal dari gagasan UNESCO tentang “Education for All”, yang berarti pendidikan harus terbuka dan ramah bagi semua kalangan tanpa terkecuali. Filosofi ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal-pasalnya ditegaskan bahwa pemerintah wajib menyediakan layanan pendidikan yang berkualitas dan merata tanpa diskriminasi, termasuk bagi warga negara dengan kelainan fisik, mental, emosional, intelektual, atau sosial.
Dalam praktiknya, pendidikan inklusif mengacu pada sistem pendidikan yang mengintegrasikan anak berkebutuhan khusus ke dalam lingkungan sekolah umum bersama anak-anak lain seusianya. Anak-anak yang termasuk dalam kategori ini antara lain adalah tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, serta anak-anak dengan kesulitan belajar lainnya. Pendidikan inklusif menekankan kesetaraan hak atas pendidikan dan pengakuan terhadap keberagaman kemampuan siswa.
PEMBAHASAN
Pada kenyataannya penerapan modifikasi perilaku di sekolah inklusif tidak mudah. Terdapat berbagai tantangan dari berbagai aspek yang dapat menghambat kesuksesan penerapan modifikasi perilaku di sekolah dasar inklusif. Apalagi di era abad-21 seperti sekarang ini, banyak tantangan di depan kita ketika kita akan menerapkan modifikasi perilaku. Namun ada beberapa solusi juga yang dapat kita lakukan untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut.
Tantangan-Tantangan Penerapan Modifikasi Perilaku di Sekolah Inklusif di Era Abad 21:
Perkembangan Teknologi:
Teknologi digital berkembang pesat dan memberikan dampak besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Anak-anak berkebutuhan khusus harus memiliki literasi digital yang mencakup penggunaan perangkat digital, pemahaman terhadap aplikasi dan perangkat lunak, serta pemanfaatan internet secara tepat. Teknologi tidak hanya berfungsi sebagai alat bantu belajar, tetapi juga memperluas akses informasi, meningkatkan partisipasi sosial, dan mendukung pembelajaran mandiri. Misalnya, tablet dan perangkat lunak khusus dapat disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan individu anak.
Keterampilan Abad 21:
Anak berkebutuhan khusus perlu dibekali dengan keterampilan esensial abad 21, yaitu berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, dan komunikasi. Keterampilan ini penting agar mereka mampu menghadapi tantangan kehidupan dan dunia kerja di masa depan. Pengembangan keterampilan tersebut harus dilakukan melalui kurikulum yang disesuaikan dan metode pembelajaran yang interaktif, misalnya proyek kolaboratif atau aktivitas yang merangsang pemikiran kreatif dan analitis.
Dinamika Sosial:
Masih banyak anak berkebutuhan khusus menghadapi stigma dan diskriminasi sosial. Kondisi ini dapat berdampak negatif terhadap kepercayaan diri dan motivasi mereka dalam belajar. Oleh karena itu, pendidikan inklusif tidak cukup hanya menggabungkan mereka ke dalam kelas reguler, tetapi juga harus menciptakan budaya sekolah yang inklusif. Guru, staf, dan siswa lain harus diberi pelatihan agar mampu memahami, menerima, dan mendukung keberadaan anak berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah.
Solusi Penerapan Modifikasi Perilaku dalam Pembelajaran Inklusif:
Pembelajaran Berbasis Keterampilan (Skill-Based Learning):
Anak-anak berkebutuhan khusus perlu dilatih melakukan aktivitas harian yang sesuai dengan perkembangan usia mereka. Salah satu metode yang digunakan adalah Fluency Based Intervention (FBI), yang fokus pada pelatihan keterampilan dalam waktu yang terukur. Misalnya, anak ASD (autism spectrum disorder) dilatih untuk merapikan kotak bekal. Kemampuan anak diukur berdasarkan waktu penyelesaian tugas tersebut. Jika waktu semakin singkat, berarti keterampilan sudah dikuasai dan bisa dilanjutkan ke tahap berikutnya.
Pembelajaran Berbasis Teknologi:
Teknologi seperti robot atau aplikasi digital bisa dimanfaatkan untuk mendukung metode ABA (Applied Behavior Analysis). Penelitian menunjukkan bahwa anak dengan ASD dapat meningkatkan inisiasi sosial melalui interaksi dengan robot. Pembelajaran seperti mencocokkan warna atau bentuk bisa dilakukan lewat layar sentuh. Namun, penggunaan teknologi harus tetap dalam pengawasan guru atau trainer agar tujuan pembelajaran tetap tercapai.
Pembelajaran Berbasis Self-Management:
Anak dilatih untuk melakukan suatu aktivitas secara mandiri, seperti bermain permainan tertentu. Guru hanya hadir dalam interval waktu tertentu untuk memberikan umpan balik. Jika anak bermain dengan benar, diberikan pujian atau hadiah. Jika belum sesuai, diberikan kesempatan lagi untuk belajar. Metode ini bertujuan mengurangi ketergantungan dan meningkatkan kemandirian.
Pembelajaran dengan Naskah (Sosiodrama):
Anak-anak dilibatkan dalam aktivitas peran, seperti simulasi belanja. Mereka belajar melakukan dialog sederhana, misalnya “Apakah kamu mau membeli permen?”. Kegiatan seperti ini membantu anak melatih kemampuan komunikasi dan inisiasi sosial secara menyenangkan.
Pembelajaran Menggunakan Gambar (PECS – Picture Exchange Communication System):
Untuk anak yang mengalami kesulitan verbal, komunikasi dimulai melalui gambar. Anak diajarkan menunjuk gambar gelas saat haus, piring saat lapar, dan toilet saat ingin ke kamar mandi. Tahap berikutnya adalah mengubah gambar menjadi kosa kata dasar seperti “minum”, “makan”, “tidur”, dan sebagainya.
KESIMPULAN
Pendidikan inklusif adalah bentuk layanan pendidikan yang memberikan kesempatan yang setara bagi anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama teman sebaya di sekolah umum. Hal ini sesuai dengan prinsip "Education for All" yang dicetuskan oleh UNESCO dan sejalan dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Dalam era abad ke-21, penerapan pendidikan inklusif menghadapi tantangan seperti perkembangan teknologi, kebutuhan keterampilan abad 21, dan dinamika sosial. Untuk mengatasi tantangan ini, diterapkan berbagai strategi modifikasi perilaku di sekolah dasar inklusif, seperti pembelajaran berbasis keterampilan, teknologi, self-management, naskah sosiodramatik, dan gambar (PECS). Strategi-strategi ini bertujuan untuk mendukung perkembangan akademik, sosial, dan emosional anak berkebutuhan khusus agar mereka dapat berpartisipasi secara aktif dan mandiri dalam lingkungan pendidikan serta kehidupan sehari-hari.
Referensi :
Binder, C. (1996). Behavioral fluency: Evolution of a new paradigm. The Behavior Analyst, 19(2), 163–197.
Bondy, A., & Frost, L. (1994). The Picture Exchange Communication System. Focus on Autistic Behavior, 9(3), 1–19.
Desy, R., et al. (2024). Pengembangan keterampilan abad 21 pada anak berkebutuhan khusus.
Huskens, B., Palmen, A., Van der Werff, M., Lourens, T., & Barakova, E. (2013). Improving collaborative play between children with autism spectrum disorders and their siblings: The effectiveness of a robot-mediated intervention based on LEGO® therapy. Journal of Autism and Developmental Disorders, 43(5), 993–1005.
Jofipasi, R., et al. (2023). Pendidikan inklusif dan pentingnya lingkungan sosial yang mendukung.
Setiawan, A., & Cipta Apsari, P. (2019). Pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran anak berkebutuhan khusus.
Stahmer, A. C., & Ingersoll, B. (2004). Inclusive programming for elementary students with autism. The Reporter, 9(1), 1–3.
Tsao, L. (2008). Using sociodramatic play to promote social skills in young children with autism. Young Exceptional Children, 11(3), 19–26.